16 Agu 2017

Boston


Boston. Sulit untuk tidak menyimpan nama dia dalam pikiran atau hatimu, walaupun baru pertama kali bertemu. 

Perawakan besar cenderung bulat. Kepala botak, bibir tebal yang selalu berbentuk bulan sabit. Wajahnya selalu terlihat tersenyum. 

Kalau baru ketemu, tanganmu akan dijabat erat. Siapapun kamu, entah kamu memang suka lawakan atau tipe pendiam, kamu akan tetap mendengar joke keluar dari mulutnya. Dia tidak akan peduli lucu atau tidak, tapi biasanya yang mendengar akan tergelak. Bisa jadi bukan karena banyolannya, tapi mimik dan tingkah laku Boston memang mengundang tawa.


Dia adalah penghibur terbaik yang pernah saya kenal. 

Kadangkala, jika kami berjumpa dengan kenalan baru, dia melontarkan kalimat-kalimat lucu. Biasanya bukan kawan baru itu yang heboh tertawa tapi saya yang terpingkal-pingkal.

 Umumnya jika berada di kantor, bahan gurauannya adalah saya, pilihan Boston selalu jatuh pada saya.
"Eh, kenapa kalau bilang tua liatnya ke Nuri" katanya sambil tersenyum jail.

Lihatlah, dia menyebutku Nuri, padahal rekan kerja yang lain memanggilku Ila atau Islah. Dia senang menjuluki teman-teman akrabnya dengan nama alias bikinan sendiri. Dan itu sifatnya tidak sementara, tapi selamanya. 

Baca juga contoh obrolan kami di Fun with coffee

Pedda untuk Asrul, Om Sod untuk Yoseph, Bemz untuk Vetri, Emmang untuk Noni. Yang terakhir hanya karena nama lengkap Noni adalah Emma Noni. 

Apakah ada yang marah? 

Mungkin pada awalnya iya. Kenyataannya kami tidak akan pernah sanggup marah lebih dari sehari pada Boston. 

Selama 12 tahun mengenalnya, sekali saya pernah marah. Gara-gara bertanya padanya saat dia sedang sibuk. Tetiba jawabannya ketus, saya ngambek seharian. 

Apa yang dilakukan Boston? 

Dia berkeliaran di sekitarku sepanjang hari, merayu-rayu, bikin lelucon sampai saya mau tertawa lagi. Padahal dia sedang sibuk. Endingnya, kami berbaikan sebelum balik ke rumah. 

Saling meledek kami lakukan hampir tiap ketemu. Dia bilang sesuatu untuk lucu-lucuan, saya menimpalinya. Selalu begitu. Kami terlihat tidak akur tapi selalu tertawa bersama. Hubungan yang aneh ya. 

Walaupun demikian, hampir seluruh masalah saya ceritakan padanya. Di antara semua teman dialah yang paling tahu isi hati dan kepalaku. 

Dia yang mula-mula tahu ketika bapak sakit. Dia yang pertama datang saat saya akan melahirkan karena dialah yang mengantar ke rumah sakit, dia yang tahu pertama saat saya berencana resign, bahkan berbulan-bulan sebelumnya. 

Saya tidak pernah sungkan curhat padanya karena saya tahu hatinya seputih kertas, tak akan dia sebar rahasia di belakang. Saya tahu dia akan menjaga rahasiaku.

Ketika curhat, dia selalu memberi solusi, kadangkala terasa menggurui, kadangkala dia memarahi, kadangkala dia menyalahkan. Tapi saya tetap plong berbicara padanya, karena saya tahu apa yang dikatakannya benar, semua untuk kebaikanku. 

Dia editorku. Draft artikel paling mentah untuk ditayangkan di blog pun sering saya kirim kepadanya. Susah untuk mendapatkan pujian. Dia menyuruh ganti ini itu. 

"feelnya tidak dapat" 
"Kalimatnya lompat-lompat" 

Mungkin dia satu-satunya editor yang tidak bisa menulis, tapi dia pembaca berita online yang bagus. 

Dia teman yang paling senang pada apapun pencapaianku. Ketika mengkritik dia jujur, ketika memuji dia tulus. 

Baca juga artikel tentang Boston di Kesabaran Berbuah Bahagia

Dari Boston saya mendapatkan definisi me time yang kurang saya sepakati. Me time itu kamu melakukan hal yang kamu sukai tanpa peduli akibatnya. Tak perlu hirau baik untuk kesehatan atau tidak. Saya gemes dia berprinsip begitu.

Boston sangat hobi main game, sering kebablasan sampai larut malam. Dia suka makan makanan enak. Siapa yang tidak suka ya? Bedanya ketika Boston menyukai sesuatu, tidak tanggung-tanggung, benar-benar sampai puas. 

Saya angkat topi betapa Boston menikmati hidup. Tapi saya gerah melihatnya begitu, dan teramat sering membicarakannya sambil berdebat.

Hidup hanya sekali katanya, "Nikmati saja!" 

Boston, teman terbaik itu pergi tgl 13 Mei 2017, sepekan sebelum air kangen yang saya janjikan padanya datang. 

"Katanya kamu mau lihat saya sehat, nanti kasih gratis segalon nah" 
"Kalau untuk kamu apa yang tidak bisa Ton" 

Itu salah satu percakapan saat chat panjang terakhir kami, 4 hari sebelum kematiannya. 

Boston meninggal mendadak, tiba-tiba dadanya sakit sepulang acara ulang tahun ibunya. 

Beliau role model dalam berteman. Sampai sekarang, ketika merasa kurang nyaman pada seseorang saya akan bertanya pada diri sendiri "Kalau begini, kira-kira Boston akan bersikap bagaimana?" 

Ton, saya tidak menduga kamu pergi begitu cepat. Yang pasti ada sekeping hatiku hilang, belum sempat kusampaikan padamu kalau kami semua sayang padamu brother.

4 komentar:

  1. Innalillahi. Semoga Boston diberikan tempat yang terbaik ya Mbak.

    BalasHapus
  2. Semoga Boston diampuni segala dosa-dosanya dan diberi tempat yang layak di sisiNya, aamin

    BalasHapus
  3. Anonim12:51 AM

    Semoga pak Boston tenang di alamnya,aminnnn

    BalasHapus
  4. Semoga Boston bahagia di sana ya mbak

    BalasHapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis