13 Jan 2020

2019

Tahun 2019 adalah tahun gado-gado buat saya.

Ada sibuk.
Ada perjalanan.
Ada duka.
Ada bahagia
Pic source : Pixabay.com

Kesibukan

Tahun 2019 adalah tahun pemilu serentak. Masih teringat kan betapa hebohnya pemilihan umum kemarin. Sekian ribu penyelenggara pemilu yang sakit, kecelakaan, kelelahan. Ratusan meninggal dunia. Sungguh pesta 5 tahunan yang tragis.

Syukurlah di Parepare tidak ada yang meninggal dunia. Tapi yang sakit lumayan banyak. Saya berulangkali ke rumah sakit menjenguk Panwascam dan PPL yang tumbang karena kelelahan dan kecelakaan. Alhamdulillah beberapa di antara mereka diberi santunan usai pemilu.

Sebagai pengawas pemilu, saya termasuk orang yang sibuk di tahun ini. Puncak kesibukan di bulan April-Mei. Mungkin teman-teman mengira hanya di kurun waktu itu saja penyelenggara bekerja keras, padahal berbulan-bulan sebelumnya sejak tahapan dimulai, kegiatan penyelenggara seakan tak ada habisnya.

Parepare kebagian pesta tambahan, 5 TPS direkomendasikan oleh Bawaslu untuk dilakukan pemilihan suara ulang (PSU). Fixed dah, double letihnya. 

Beberapa kali saya tidur di kantor. Nginap dan pulang tengah malam sudah biasa, apalagi menjelang hari H pencoblosan. Kami keliling sampai dini hari untuk patroli. Pulang ke rumah rasanya segan, karena harus membangunkan suami pukul 03.00 subuh, sementara keesokan harinya harus ronda lagi pantau TPS sebelum pukul 07.00. Kebayang kan?

Anak-anak menjadi terbiasa ditinggal. Untung saya dapat patner hidup yang baik, yang pengertian dan sabar.

Perjalanan

Untuk perjalanan keluar kota, di tahun 2019 masih lumayan sering. Khususnya di awal dan pertengahan tahun. Kurang lebih 34 kali saya meninggalkan Parepare dalam rangka pekerjaan, dengan total waktu kira-kira 100 hari. Ini hitungan kasar saja. Saya tidak begitu disiplin mencatatnya.

Di akhir Januari, saya ke Kendari. Diajak Iwan nginap di rumahnya. Seorang sepupu yang stay di sana bersama istri dan anak kembarnya. Walaupun singkat, saya sempat bersantap siang dengan menu ikan bakar, mengunjungi Masjid Al Alam, dan menikmati es buah di pantai Keby.
Masjid Al Alam Kendari

Perjalanan luar provinsi antara lain ke :

Banten     : Maret
Jakarta     : Agustus, Oktober
Belitung   : Juni
Bogor       : Desember

Baca cerita saya saat Jalan-jalan di Belitung, Singkat Tapi Berkesan

Kalau kisah di Bogor, boleh baca artikel Perjalanan ke Bogor, Sungguh Singkat dan Melelahkan

Alhamdulillah di bulan Mei, saya bersama ibu mertua mengunjungi Baitullah untuk pertama kali. Kami menghabiskan waktu 13 hari, ini sudah termasuk pejalanan pulang pergi.
Rombongan umroh Jawara Tour


Duka

Tuhan banyak memberikan anugerah, entah itu kesehatan, rezeki, anak yang lincah dan cerdas, teman yang baik. Tapi tetap saja, ketika duka itu datang, yang menimbulkan kesan mendalam adalah air mata. Saya banyak mengalami kehilangan di tahun ini.

Februari

Bapak dan ibu mertua berkunjung ke rumah kami selama beberapa hari. Kami sempat jalan-jalan, dan mengajaknya menginap di hotel. Dua pekan kemudian, Mama melihat Bapak aneh, seperti orang linglung dan sakit. Bapak dibawa ke rumah sakit. Bapak koma. Bapak tidak pernah bangun sampai beliau dipanggil Allah.

Setiap Naylah dan Rayyan mengenang kakeknya itu. Mereka selalu bilang "Kakek orang baik, tidak pernah marah"

Mei

Fetta Aji Mame sangat jarang sakit. Bagaimana tidak? dia hampir tiap hari ke kebun, menyiangi semak dan rumput yang mengganggu tanamannya. Mungkin karena kebiasaannya itulah, fisik beliau terlihat selalu bugar.

Suatu senja, seorang pemuda yang mengendarai motor menabrak Fetta Aji dengan keras. Beliau menghembuskan nafasnya seketika.  Kami kehilangan.

Agustus

Etta sakit sejak 6 tahun yang lalu. Terlihat makin payah 6 bulan belakangan. Ketika beliau meninggal kamis malam ba'da isya, tgl 01 Agustus 2019, kami anaknya (kecuali Asrul) ada di samping Etta.

Baca juga Etta Pergi

17 hari kemudian....
Kami kembali berurai air mata. Fung Aji, menyusul putra sulungnya.
Sehingga belum kering air mata, belum khatam bacaan Quran, pusara Etta masih basah...kami kembali membawa jasad orang yang paling kami cintai di pekuburan Kawerang. Ibu dan puteranya berbaring bersebelahan.

November

Ibu saya meninggal di tahun 2005. Beliau hanya memiliki 2 saudara kandung, yaitu Bapak Uti dan Fung Wati. Bapak Uti meninggal tahun 2018. Belum lama sebenarnya. Anak-anaknya masih saja menulis status-status sedih di medsos. Kami pun sedih. Terlebih juga didera perasaan bersalah karena belum pernah menjenguk beliau semasa sakit di Toli-Toli. Bahkan belum sempat ziarah di makam beliau sampai detik ini :(

Berita duka kembali datang, Fung Wati menyusul saudara-saudaranya.

Duhaiiii Tuhan. Nyawa dan nasib kami memang di genggamanMu, tapi alangkah singkat jeda yang Engkau berikan kepada kami untuk menata hati. Demikian pikiran ini sempat mengeluh.

Grup WhatsApp keluarga tak henti membuat list khataman Quran. Dengan harapan apa yang dibaca oleh kami keluarga yang ditinggalkan, dapat sampai pahalanya bagi orang-orang tercinta yang telah pergi lebih dahulu.

Kematian selalu meninggalkan penyesalan, mengapa dulu tak sering mengunjungi saat sakit? mengapa tak maksimal berbakti? mengapa tidak selalu menelpon? padahal itu hal yang mudah. Mengapa tidak begini dan begitu?

Kita tak dapat mengulang moment bersama mereka. Hanya bisa berandai, seandainya ...seandainya... dan seandainya.  Itu yang paling menyakitkan.

Bahagia

Setelah duka beruntun yang menumpahkan air mata kami. Kabar bahagia datang. Saya Hamil.  Pantas akhir-akhir ini, setiap melihat anak bayi yang digendong ibunya, saya sulit mengabaikan mereka. Bawaannya gemes dan pengen punya juga. Rupanya akan dititipi Allah anak yang ketiga. Doakan ya kehamilan ini lancar, ibu sehat dan kuat melahirkan. Anak kami kelak menjadi anak soleh atau solehah.

Demikianlah hidup. Seperti langit, ketika gelap menghitam...tak akan sanggup kita cegah datangnya hujan. Tapi ketika air berhenti mengucuri bumi, tak sanggup kita cegah matahari bersinar dengan cerah.










0 komentar:

Posting Komentar

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis