13 Mei 2016

Berlibur di Desa (part 1)

berlibur-di-desa

Mencari Rumah Tante Bia

Saya, anak-anak dan Mia mulai gelisah. Sudah hampir sejam kami tersesat, GPS tidak membantu sama sekali, malah membuat kami berputar-putar dan salah arah.

 “mungkin tidak update” kata Pap Nay.

Jadi kami memutuskan kembali pada cara lama dan konvensional yaitu BERTANYA. Setiap ada persimpangan Pap Nay singgah bertanya. Lebih baik begitu daripada kesasar.

Semakin jauh, jalanan yang dilewati semakin mengecil, kiri kanan terhampar sawah diselingi rumah penduduk. Suasana pedesaan kental terasa. Mobil yang lalu lalang tidak seramai tadi, seandainya kami tidak sedang tersesat, mungkin keindahan alam bisa lebih dinikmati. Setelah yakin sudah di jalur yang benar, Pap Nay menelpon Tante Bia, Tante Bia adalah saudara sepupu mama mertua saya. Saya belum pernah ketemu dengannya. Berhubung hari prei kerja lumayan lama, kami punya banyak waktu. Jadi setelah puas bersilaturahmi dengan keluarga di Soppeng, kami memutuskan menyambangi Tante Bia di Bone.

Bola seppo magawu” kata Tante Bia takkala ditanya ciri-ciri rumahnya, dia menambahkan keheranannya kenapa Pap Nay bisa lupa, padahal sudah 2 kali kesana. Benar suami saya masih mengenali tempat itu, hanya saja karena kunjungan terakhir 10 tahun yang lalu, dia jadi lupa tepatnya dimana.

Pukul 5 sore, si simbilikiti, mobil mungil setia andalan akhirnya bisa istirahat.

Rumah Tante Bia benar berwarna biru seperti dia bilang tadi ditelepon, terletak di bagian belakang. Bukan di pinggir jalan. Saat melihat wujud rumah pertama kali, saya tidak terkesan benar. Bola Seppo yang Tante Bia maksud adalah rumah tanpa tiang atau rumah batu. Tapi punya Tante Bia semi rumah batu, setengah terbuat dari tembok, bagian tengah ke atas berdinding kayu. Tidak reot tapi tidak begitu bagus, beberapa papan dipalang sekenanya, hampir keseluruhan teras menjadi tempat gabah. Melihat tampilan luarnya saja, saya sudah membayangkan interior rumah seamburadul eksteriornya. Tambahan pula, untuk menuju rumah, kami harus melewati jalanan becek di samping rumah tetangga. Seandainya becek saja tidak mengapa, tapi sapi, anjing, dan segala hewan peliharaan penduduk sekitar berkeliaran di situ. Bisa dipastikan kotoran mereka bercampur aduk, menjadikan jalan itu mirip kubangan, kami harus berjalan hati-hati mencari pijakan yang aman, kalau tidak bisa-bisa sandal juga ikut berkubang.

Karena tuan rumah sedang berada di sawah. Saya dan anak-anak memutuskan menunggu mereka di pinggir jalan, kebetulan ada tempat duduk, disini lebih kering, lebih nyaman. Tak berapa lama kemudian, Tante Bia datang, disusul suaminya yang baru menurunkan dua karung gabah dari kuda. Kami disambut hangat sekali.

Interior rumah sederhana. Tapi saya bengong, alangkah bersih dan rapinya rumah ini. Tidak ada debu sama sekali, semua teratur di tempatnya. Di dapur sederhana mereka, ada kulkas, kompor gas, ada juga kompor tradisional. Kompor yang terakhir ini adalah kompor yang bahan bakar utamanya dari kayu atau arang. Saya sering melihat kompor jenis ini semasa kecil, bahkan pernah melihat proses pembuatannya. Seingat saya memasak menggunakan alat ini menyisakan sampah abu yang lumayan banyak, mungkin karena Tante Bia memakai arang, saya tidak melihat bekas abu sama sekali di dapur.

Di sebelah dapur ada kamar mandi sederhana; toilet, baskom, dan bak mandi disitu terlihat bersih, lantai kamar mandinya walaupun tidak berkeramik, juga tidak licin sama sekali.

Ruang tengah dijadikan ruang keluarga. Seperti ruang keluarga pada umumnya, ruangan ini dilengkapi tv mungil dengan fasilitas siaran memakai parabola. Dialasi 3 karpet plastik berbeda dengan motif tabrakan. Kami betah ngumpul di depan TV di ruangan ini, karena itu tadi…bersih.

“Semua ini dibeli Harun” kata suami Tante Bia sambil menunjuk TV.

Harun adalah anak semata wayang mereka yang berprofesi sebagai tentara di daerah lain, profesi yang banyak dibanggakan orang tua di desa.

Di dalam kamar tidur ada dua ranjang kayu, dengan kelambu tergantung rapi siap pasang, dialasi kasur kapuk, ditutup seprai licin nan rapi. Tidak ada bau aneh akibat leler di bantal, saya yakin ini baru saja dicuci atau entahlah apa memang selalu bersih begitu, tidak beraroma pengharum m*olto, tapi tak berbau. Sarung-sarung yang kami pakai tidur juga demikian, semua bersih.

Tertampar

Mau tidak mau, saya merasa ada tepukan lembut di pipi. Apa kabar rumahku? Rumah hunian yang dibersihkan berjam-jam, menjadi kapal pecah dalam sekejap. Ditambah penghuninya (baca saya) yang mendewakan kata “nanti” untuk membereskannya. Saya selalu berlindung pada tameng “saya ibu pekerja”, capek dari kantor. Padahal sebenarnya seringkali tidak capai benar, di kantor saya masih bisa duduk santai dan bercanda dengan teman, masih bisa ngopi sambil ngemil biskuit *pantas ndut

Saya takjub, Tante Bia sudah berumur, dia dipanggil nenek oleh anak-anak saya. Beliau mengsyukuri rumah mungil yang mampu suaminya beli. Rumah kecil tak menghalangi mereka bahagia dan merasa tenteram di dalamnya. Saya teringat kalimat seorang bijak “ ketika rumahmu kecil syukurilah dengan merawatnya, percantik semampumu, sebelum dimampukan untuk menempati rumah besar”
rumah-lapang

Tante Bia IRT sejati? Bukan.

Waktu kami datang, Tante Bia baru pulang dari sawah. Dia menenteng banyak sekali bawaan; ada rantang, baju-baju kotor, dan beberapa lagi barang yang saya tidak perhatikan benar. Dia baru saja membantu suaminya massangki (memotong padi). Hebatnya, subuh-subuh dia sudah bangun, menyiapkan bekal makan siang dan meninggalkan rumah pada pukul 9 pagi dalam keadaan rapih jali. Sepulang dari “kantor” dia memasak, menyiapkan makan malam. Belum lagi saat kami tiba, disuguhi bermacam-macam kue, salah satunya kue barongko. Heran, kok sempat ya. Bagi saya, multitasking yang Tante Bia lakukan sungguh luar biasa, saya belum tentu bisa.

Berapa banyak dari kita, khususnya saya menjadi begitu jumawa karena ikut mencari nafkah. Mengerjakan pekerjaan rumah semaunya saja, sebisanya saja. Saya belajar banyak pada Tante Bia hari ini. Dia tidak mengetahui banyak hal, dia tidak membaca buku-buku motivasi. Beliau hanya bekerja dan mengabdi, melakukan yang bisa dia lakukan dengan ikhlas. Tante Bia sukses membuat saya merenung, memaksa saya berkaca..hei diriku! belajarlah ilmu ikhlas seperti orang-orang sederhana itu lakukan, orang yang menikmati kegiatan melayani, karena tahu semua dibalas Allah.

6 komentar:

  1. ilmu ikhlas memang susah ya mba, mudah diucapkan namun susah dilakukan hohoho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampe skrg belajar ilmu ikhlasku ndk lulus2 :(

      Hapus
  2. jempol buat tante Bia :)
    bekerja penuh keikhlasan dan tidak mengeluh, sepertinya saya masih sulit menerapkannya mengingat masih sering kali kata-kata keluhan keluar dari mulut saya :(

    BalasHapus
  3. saya juga jadi ikut beajar dari Tante Bia. Multitasking sekali :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget Mak..saya benar2 sadar setiba di rumah langsung rajin baberes lagi

      Hapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis