28 Mar 2016

Pelajaran Hidup : La Mading

pelajaran-hidup

Pelajaran hidup. La Mading (samaran) menetap bersama anak istrinya di sebuah rumah dekat areal pekuburan. Tepat di sebelah kanan rumahnya, ada jalan setapak yang tak akan muat dilalui dua orang yang berjalan bersisian, rombongan peziarah kubur harus berjalan beriringan melaluinya. Tempat ini selalu melekat dibenak saya karena tanaman pagarnya berbiji unik, jika sudah matang, biji-bijinya yang serupa manik itu bisa dirangkai menjadi kalung. Saya dan kawan-kawan sepermainan memetik manik hanya di siang atau sore hari, karena menjelang magrib atau malam, menoleh ke arah jalan itu pun kami enggan, bulu kuduk selalu berdiri. Pohon-pohon di depan rumah La Mading seakan membentuk tubuh mayat yang menggantung, kafannya melambai-lambai diterpa angin. Jangan dikata bagaimana seremnya penampakan rumah La Mading di malam hari kala itu, apalagi dulu lampu jalan belum ada, rumah-rumah saja masih minim lampu, sungguh menakutkan!

La Mading berprofesi sebagai penjual Buroncong. Buroncong adalah kue khas bugis yang dibuat dari tepung beras dan kelapa (sepertinya begitu), cara masak dan penampilannya seperti kue pukis yang sering dijual mas-mas memakai gerobak di pinggir jalan atau di pasar, hanya saja kue buroncong ini tidak ditaburi cokelat atau keju. Rasa kue buroncong gurih. Tapi di masa kanak-kanak saya, saya tidak doyan kue ini. Mungkin karena sering dikasih gratis, jadinya tidak istimewa. Kadang kala Tata membelikan, tetap jarang saya sentuh, saya tidak suka. Setelah dewasa, anehnya beberapa kali saya merindukan kue ini.

Di masa kecil saya, nasihat tentang pentingnya tidak berfoya-foya selalu dikaitkan dengan nama La Mading. Konon, La Mading adalah seorang yang kaya raya dulu, entah pekerjaannya apa sehingga uangnya begitu banyak, Tata tidak pernah cerita soal itu, titik berat cerita selalu berkisar seputar bagaimana La Mading menghabiskan uangnya. Menurut cerita Tata, La Mading selalu tidur di hotel, makan di restoran, dan berjudi. Dengan gaya hidup yang tanpa perhitungan itu, uang La Mading yang melimpah segera habis. La Mading yang bangkrut akhirnya kembali ke desa membangun rumah kecil, dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Dia menjadi penjual buroncong. Begitulah selalu penutup cerita Tata disertai dengan nasihat panjang tentang pentingnya berhemat.

Usia 9 tahun saya meninggalkan rumah lama, kami hijrah ke desa lain. Jaraknya tidak begitu jauh, tapi cukup membuat kami jarang berinteraksi dengan keluarga La Mading. Sesekali saya masih sering menemukan La Mading atau istrinya jika kebetulan menemani Tata ke pasar, mereka masih kerap memaksa menghadiahi kami dengan sebungkus buroncong hangat untuk dibawa pulang.

Beberapa tahun berlalu, saya berkunjung ke kampung yang lama. Sungguh menakjubkan, rumah La Mading kini besar dan megah untuk ukuran rumah di sekitarnya. Keseluruhan bagiannya terbuat dari kayu seppu, kayu ini adalah kayu berkualitas nomer satu, yang karena langkanya sampai ada larangan menebang pohon jenis ini sekarang. Rumah panggung La Mading lebih tinggi, lebih besar dan kokoh dibandingkan rumah yang dulu. Dua tiga kali saya menyempatkan singgah, bersilaturahmi dengan mereka sekeluarga. Rupanya anak sulung yang merantau di Malaysia sudah menikah dan cukup sukses di sana, dia pulang kampung dan membangun rumah yang bagus untuk orang tuanya.

Kehidupan La Mading mengajarkan saya dua hal, pertama sesuai nasihat Tata, jangan berfoya-foya. Kedua ini saya resapi sendiri, bahwa benar dunia itu berputar. Hari ini kamu kaya tidak menjamin kamu tidak akan jatuh miskin keesokan harinya. Pun demikian sebaliknya, melarat sekarang tidak boleh memutus harapan bahwa besok kita bisa berpunya. Layaknya melangkah, tak akan bisa kita maju jika kaki kanan dan kiri tidak bergantian di depan. Tak patut hamba berputus asa ketika cobaan menimpa, begitupun sebaliknya, tak seharusnya disikapi berlebihan jika dilimpahi anugerah.

Parepare, 28 Maret 2016

7 komentar:

  1. Reminder for my self too, hidup ini berputar. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya..mbak, utamanya jdi pengingat buat yg menulis :-)

      Hapus
  2. Cerita-ceritamu selalu menggugah rasa...otentik dan unik saya suka postingan2nta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh jadi malu...terima kasih

      Hapus
  3. Alhamdulillah ... hidup La Mading seperti roda yang berputar. Kini dia kembali berada di atas.
    Tabe' ralat Islah ... kalo yang dimaksud itu kue pukis (bukan kukis).

    Buroncong .... saya suka. Sama sukanya saya dengan kue pukis :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu kak sdh dikoreksi mmmuah

      Hapus
  4. Berakit2 ke hulu berenang2 ke tepian. Itu yg dilakukan oleh La Mading ya Mak. Harus ditiru.

    BalasHapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis