25 Jan 2012

Ramah itu Mutlak

Tadi malam saya ke Pasar Senggol, semacam pasar malam yang buka dari jam 17.00 sampai 22.00. Kami selalu ke pasar ini untuk membeli keperluan dapur, kami sibuk kerja dipagi hari, jadi bisanya cuma ke pasar dimalam hari.

Ada seorang ibu penjual aneka sayur-mayur, selain menjual sayur mayur, ibu ini juga menjual pisang.  Badannya gemuk, wajahnya judes, suaranya apalagi. Selama saya pilih-pilih pisangnya (pisangnya banyak yang sudah bonyok) dia ngomel-ngomel terus, menyindir- nyindir pelanggan yang memilihnya kelamaan. Dan bertanya kepada saya mau beli yang mana dengan nada suara yang keras. Dapat kurasakan mukaku memerah menahan rasa tersinggung. Kok ada ya penjual yang memperlakukan pelanggannya tidak ramah begini. Kutahan marahku. Kuputuskan segera membeli pisang yang hampir bonyok itu dengan perasaan marah.

Dihari lain, saya juga pergi ke pasar yang sama dengan suami. Ada penjual sayur mayur yang jualannya bisa dibilang komplit. Kebetulan kami punya kesepakatan tidak tertulis, saya memilih sayur-mayurnya, sedangkan suami memilih ikannya (trauma pernah milih ikan busuk J). Kuperhatikan ibu penjual sayur ini selalu ditemani oleh anak- anaknya berjualan. Kalau bukan anak perempuannya, pasti ditemani anak laki-lakinya yang tambun, umurnya kurang lebih seumuran anak SMU. Setiap kali mereka berbicara, entah itu anak kepada ibunya, atau ibu kepada anaknya, perkataan mereka sangat lembut. “ Mama, kembaliannya 1000 ya” , tidak pakai acara lempar uang karena sibuk, uangnya diletakkan saja ditempat yang dijangkau mamanya. “ Ambilkan bawang Bombay nak”  tidak ada wajah jengkel karena repot mengurusi pembeli yang ramai. Saya betah mengamati ibu anak ini menjual sambil menunggu suami selesai memilih ikan.

Dilain hari dan tempat, saya masuk toko pakaian anak. Niat sudah beli baju buat Naylah sudah bulat, habis gajian dan uangnya baru saja ditarik dari atm. Saya milih-milih baju sambil bertanya ke ibu penjaga toko yang sepertinya pemilik toko tersebut, dia menjawab kurang ramah dan jawabannya pendek-pendek, tanpa pikir panjang saya melangkah ke toko lain. Selama berbulan-bulan kemudian setiap kali menoleh ke toko itu, saya melihat toko pakaian anak itu selalu sepi pengunjung padahal lokasi dipusat kota dan sangat strategis.

Saya punya toko langganan pakaian anak. Dulu, pada awal-awal buka toko, sebelum toko itu seramai sekarang, pengunjungnya juga sepi. Karena waktu itu masih bujang, saya kesana hanya setiap kali mau membeli gift untuk customer kantor. Nanti setelah Naylah lahir, saya selalu membeli baju disana, bahkan ranjang bayipun kubeli disana. Suami-istri pemilik toko ramah, percakapan kami panjang-panjang, bukan hanya seputar tanya harga dan dia jawab harganya. Bahkan baju boleh dibawa pulang untuk dicoba Naylah, dan boleh ditukar kalau tidak cocok. Sekarang, boleh dibilang itulah toko penjual perlengakapan anak paling ramai di kotaku.

Saya juga punya penjahit langganan, kerjanya rapi, dan pakaian yang dia jahit nyaman dipakai, ongkos jahit juga murah. Kekurangannya hanya satu, mungkin karena sudah tua dan banyak orderan, jahitan lama sekali baru bisa diambil, kecuali wanti-wanti akan dipakai segera baru dia dahulukan menjahitnya. Tapi bagaimanapun, saya tidak pernah berpindah hati ke penjahit lain. Suami-istri itu kebetulan asalnya dari daerah yang sama denganku. Kami akrab sekali. Rasanya seperti keluarga sendiri.

Dari pengalaman-pengalaman itu, saya jadi tahu keramahtamahan mutlak diperlukan jika kita membuka usaha, usaha apapun itu, mau jual nasi goreng dipinggir jalan, jualan baju, jualan kopi, penjahit, salon ataupun menjual dimall besar. Pembeli akan loyal jika penjualnya ramah, apalagi jika didukung oleh produk yang bermutu. Insya Allah apapun usahaku kelak akan kulayani pembeliku dengan ramah.

0 komentar:

Posting Komentar

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis