28 Jul 2015

Perjalanan Ke Selayar Part 1 : Keindahan Tanah Bugis

Suami saya sebenarnya bersuku Bone, ayah ibunya berasal dari Bone, tapi karena diboyong oleh orang tuanya untuk menghindari kekejaman gerombolan pemberontak waktu itu, maka kakek nenek suami hijrah ke Selayar yang katanya dulu memang jadi tempat bersuakanya penduduk daerah lain di Sulsel.
 
Kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman pulang kampung ke Selayar yang berbeda dari tahun tahun sebelumnya.
 
Setiap tahun, saya dan suami selalu lebaran Idul Fitri di Selayar, kecuali pada saat adik Ayyan baru lahir, kami memutuskan tidak pulang kampung. Membawa bayi yang baru lahir pulang kampung sangat tidak aman dimusim mudik.
 
Seperti biasa, mudik sesak dimana-mana, begitupula dengan pemudik tujuan Pulau Selayar. Sepertinya pulau ini juga memiliki banyak penduduk yang merantau keluar pulau. Buktinya setiap tahun kami pasti menderita dengan arus mudik kesana.
 
Hanya ada dua cara menyebrang ke Selayar, yaitu lewat laut menggunakan feri dan dan lewat udara menggunakan pesawat, tapi baru satu kali kami kesana dengan pesawat, sisanya menggunakan Feri, dulu juga ada kapal cepat tapi sekarang tidak beroperasi lagi, jika lewat laut, transportasi yang tersisa hanya menggunakan feri. Kenapa menggunakan feri? tetap alasan klasik, lebih MURAH.
 
Sebelum sampai keacara nyebrangnya, kami harus tiba dulu di Pelabuhan Bira di Kabupaten Bulukumba. Disinilah feri menyebrang menuju Pulau Selayar. Untuk tiba ke Bira, kami harus lewat jalan darat dulu. Disinilah perbedaan perjalanan kami kali ini. Biasanya kami akan melewati jalur ini tahun-tahun sebelumnya: Kami start dari Parepare- Makassar – Gowa – Jeneponto – Bantaeng – Bulukumba. Jika perjalanan ini dilakukan dimusim mudik, perjalanan sungguh tidak nyaman, jalan-jalan poros akan dipenuhi dengan kendaraan yang juga mudik. Apalagi kami harus lewat Makassar yang jalanannya super macet, tanpa dilewati pemudikpun Makassar selalu macet, ditambah dengan pelintas dari berbagai daerah semakin membuat jalanan Makassar- Gowa semakin macet saja. Sangat tidak nyaman.
 
Ketidaknyamanan dengan kemacetan ini juga bertambah dengan tidak nyamannya melintasi daerah Jeneponto yang kabarnya tidak aman, beberapa titik didaerah Jeneponto rawan dimalam hari, kabarnya para perampok kadang standby disitu menghadang mobil para pemudik. Membuat kami was-was dan menghindari melintasi daerah itu dimalam hari.
 
Tahun ini menjadi berbeda karena kami berangkat ke Pelabuhan Bira melewati jalur ini Sidrap- soppeng- Bone- Sinjai – Bulukumba. Jalur ini berkebalikan 180 derajat situasinya dibandingkan dengan melewati jalur Makassar tadi. Sepanjang jalan kehijauan semata, khususnya daerah Bone. Sepanjang jalan terhampar sawah yang hijau, berundak-undak berbentuk senkedan layaknya pemandangan di Bali. Pohon-pohon besar berdiri kokoh sepanjang jalan. Karena kami berangkat setelah sholat Id, jalanan pun lengang, hanya diisi dengan beberapa kendaraan yang sepertinya tujuannya untuk bersilaturahmi, bersahabat dan tidak terburu-buru.
 


 
 
Sebelum memutuskan berangkat ikut suami pulang ke Selayar, saya sudah meminta dengan sangat pada Pap Nay, untuk diisinkan singgah jika melihat sesuatu atau pemandangan yang bagus, dan Pap Nay berbaik hati mau mengambil foto setiap kali ada pemandangan yang rasanya berat untuk tidak diabadikan. Walaupun kadang-kadang Pap Nay keliatan mau protes karena memakan waktu banyak menyetir sambil singgah-singgah, tapi dia mau juga mengikuti kesepakatan yang sudah ditetapkan diawal.
 
Keindahan pemandangan tanah Ogi yang sejuk dan hijau semata, membuatku sebagai anak keturunan bugis menjadi sangat bangga. Hamparan padi yang luas memberi bukti bahwa tanah kami memberikan sumbangsih yang besar dalam hal penyediaan beras, jika melihat luasnya sawah seharusnya beras impor sudah tidak ada lagi di Indonesia.

Kami juga melewati bangunan pabrik gula di Bone, sebenarnya tidak melewati benar, kami hanya memandangnya dari kejauhan. Penduduk disekitar pabrik gula, menanam tebu dengan jumlah yang sangat banyak. Hal ini membuatku bertanya-tanya mungkinkah penduduk merasa lebih mengutungkan memanen tebu daripada beras.
 
Setelah melewati kabupaten Bone, kami kemudian melewati kabupaten Sinjai, saya kurang menikmati daerah ini karena kami tiba magrib. Pemandangan gelap dan jalanannya lumayan menantang, berbelok-belok dan membuat mual. Tidak begitu lama meninggalkan kota Sinjai, kami akhirnya tiba di Tanete, tempat kami menginap. Ternyata rumah Darma, seroang sepupu yang menikah dengan orang Tanete lumayan jauh juga, setelah jalan poros, kami harus masuk ke second road yang agak panjang dan gelap. Untungnya suami Darma berbaik hati mau menjemput kami dijalan poros dan memandu kami sampai dirumah.
 
Kami berangkat ke Pelabuhan Bira pagi hari, perjalanan kali ini menghibur mata lagi. AC mobil dimatikan, kaca jendela diturunkan. Kami melewati banyak pohon-pohon besar dan perkebunan karet. Benar-benar memanjakan paru-paru yang biasanya lebih sering menghirup polusi.







Hijau...hijau...hijau
 
Yang membahagiakan dengan perjalanan ini, mungkin karena kesejukan suasana disetiap perjalanan, Naylah dan Adik Ayyan tidur terus sepanjang jalan. Perjalanan menjadi lebih adem, jauh dari hiruk pikuk rengekan dan teriakan. Pap Nay pun menyetir dengan tenang, kami bercerita sepanjang jalan.
Mudik kali ini bukan MUDIK, melainkan ON VACATION saja.
 
Selayar, 22 07 2015
Nur Islah

4 komentar:

  1. Halooo, Kak! Mau jadi bagian tim jelajah Kalimantan GRATIS? Ikuti lomba blog "Terios 7 Wonders, Borneo Wild Adventure" di sini http://bit.ly/terios7wonders2015 #Terios7Wonders

    Jangan sampai ketinggalan, ya!

    BalasHapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis