27 Sep 2011

Dilema Wanita Pekerja

Idealnya wanita tinggal di rumah mengurus rumah, mengurus suami. Memastikan makanan, baju, dan kebutuhan suami terpenuhi. Baju sudah disetrika ketika dia mau memakai baju, kaos kaki terlipat rapi dilaci, makanan siap sedia di meja, kasur licin dan rapi ketika dia akan tidur.

Semestinya wanita memang tinggal di rumah untuk mengurus anak. Memberikan hak anaknya ketika bayi, yaitu ASI exclusive selama 6 bulan, mendidiknya, dan mendampinginya tumbuh.

Tapi tidak semua wanita seberuntung istri pejabat (baca: pejabat yang tidak korupsi), atau istri pengusaha sukses (baca: yang tidak menghalalkan segala cara untuk usahanya) yang tidak perlu bekerja diluar rumah. Di Indonesia saja, jumlah angkatan kerja wanita yang aktif meningkat dari 6.869.357 pada tahun 1990 menjadi 36.871.239 pada tahun 2000 (BPS, Data komposisi angkatan kerja,1990 & 2000). Ini menunjukkan bahwa memang wanita-wanita sekarang sangat banyak yang berperan ganda sebagai istri, ibu dan pekerja.

Ada banyak alasan sehingga seorang wanita harus bekerja. Entah itu karena memang ingin mengaktualisasikan diri dan pendidikannya, atau membantu suami mencari nafkah, dll. Dilema peran ganda ini sering menimbulkan stress dan kelelahan pada wanita pekerja. Menurutku, ketika seorang wanita bekerja di luar rumah, standar istri yang ideal harus diturunkan. Wanita pekerja bukanlah super women yang bisa mengerjakan segala hal. Kecintaan kepada suami tak harus ditunjukkan dengan mengepel lantai, mencuci, dan menyetrika. Itu bisa dikerjakan pembantu.

Banyak hal-hal yang bisa dilakukan seorang istri yang bekerja, seperti menyiapkan kopi susu sebelum suami bangun, membuatkan sarapan dipagi hari, atau memasak menu kesukaan suami pada saat week end. Sementara pekerjaan yang butuh tenaga dan waktu diserahkan kepada pembantu.

Untuk urusan pengasuhan anak memang agak dilema, tapi selama kita menunjukkan kasih sayang kepada mereka, meningkatkan kualitas kebersamaan dengan mereka, menguatkan pondasi keagaamaan mulai dari orang tuanya untuk dicontoh oleh anak-anak, dan semua usaha mendidik sudah dimaksimalkan, saya kira tidak akan ada usaha yang sia-sia, bukankah Tuhan maha melihat.

Terlepas dari boleh tidaknya istri bekerja menurut Islam, menurutku, seorang wanita yang memutuskan bekerja untuk membantu suami patut dihargai, dan patut kita angkat topi kepadanya. Tidak mudah menjalani peran ganda sebagai ibu, istri, dan bawahan, perlu kecerdikan dan manajemen waktu-diri untuk menyukseskan ketiga peran tersebut, dan tentu saja tetap menjadi pribadi yang tidak stress dan menikmati hidup. Lagipula,  Bukankah membantu meringankan beban suami, membantu memberi makan anak-anaknya, membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga, akan menjadi pahala jika suami ridho dan memberi ijin.  So go for it ladies!!

0 komentar:

Posting Komentar

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis