29 Jul 2016

Makan Siang di Pulau Liang Kareta

Foto dari berbagai sumber
Makan siang di Pulau Liang Kareta. Foto-foto di atas saya kumpulkan dari berbagai sumber hasil temuan Mbah Google dengan kata kunci “Liang Kareta”. Indah bukan? Seperti itulah bayangan saya tentang pulau ini, alangkah tenang dan damainya jika berada di sana, sebuah pulau tak berpenduduk, dengan kolam laut luas berair jernih tak bertepi..ahhh.

Saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Liang Kareta pada saat liburan panjang kemarin.
Waktu itu Adek Ayyan baru saja sembuh dari demam, tapi masih ogah makan. Sementara persiapan ke Pulau Liang Kareta sudah mantap, kami sudah ngomong ke pemilik kapal, sudah deal harga sewanya, bahkan bahan-bahan makanan untuk dijadikan bekal sudah siap. Tapi keadaan adek Ayyan belum stabil juga. Memang suhu tubuhnya sudah normal, tapi setiap disuap dia menutup mulut rapat-rapat, maunya minum susu saja.

Sempat kepikiran untuk tinggal di rumah saja menemani Adek, tapi mama mertua bilang tidak apa-apa membawanya serta karena kapal yang akan kami tumpangi punya kamar, jadi Adek bakalan aman, tidak masuk angin.

Jadi teringat masa-masa ketika Kakak Naylah masih seumur Adek Ayyan, adat dia kalau pulang kampung pasti malas makan. Segala macam makanan kesukaannya kami beli, tapi dia tetap tidak bisa lahap. Waktu itu dia dibawa rekreasi ke suatu pulau oleh kakeknya (lupa nama pulaunya apa), eh sesampainya di sana baru mau makan. Mungkin Adek akan begitu juga, pikirku. Jadi berangkatlah kami hari itu. Tentu saja dengan melapisi seluruh tubuh Adek dengan Jaket, kaos kaki, dan sarung.

Ternyata benar kata mama, bagan ada kamarnya. Hati jadi tenang. Bagan adalah kapal yang biasanya dipakai menangkap ikan di laut, dilengkapi dengan batang-batang bambu atau balok kayu yang terpasang kiri-kanannya untuk menjaga keseimbangan kapal. Kapal ini kami sewa lumayan murah, sudah termasuk sopir dan bahan bakarnya, cuma dikenakan harga 400rb. Kok bisa? Karena yang punya kenalan bapak mertua saya :D
pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
kapal siap berangkat
Kapal dilengkapi 2 kamar sebenarnya, satu untuk nahkoda, terletak di bagian atas, yang satu lagi kamar untuk tempat istirahat penumpang di bagian bawah. Waktu berangkat saya dan anak-anak di kamar bawah. Adek tertidur sepanjang jalan, lelap sekali. Sedangkan Naylah duduk di dekat jendela, dia memandang laut dengan tenang. Nah, setelah balik ke Benteng, barulah kami ditempatkan di kamar nahkoda yang ternyata lebih nyaman, lebih bersih dan tidak bising oleh suara mesin. Fasilitas kamar nahkoda juga lebih lengkap, ada TV, speaker dan kipas anginnya. *nelan liur pengen punya juga.

Berita kami sekeluarga akan ke Pulau Liang Kareta cepat beredar. Kapal yang kami sewa ikut ditumpangi banyak orang. Jadi sekitar 40 orang yang diangkut di kapal tersebut, dan sebagian besar saya tidak kenal. Wajar sih kalau banyak yang ikut, saya pun malah senang bisa memaksimalkan penggunaan kapalnya, karena untuk rekreasi ke Liang Kereta memang butuh niat dan modal.

Kami berangkat dari pelabuhan Benteng saat laut tenang dan tidak begitu berangin, kapal melaju dengan mulus. Jarak tempuh lumayan jauh ternyata, sekitar 1,5 jam perjalanan, hampir menyamai lamanya perjalanan yang kami tempuh dari Pelabuhan Bira Bulukumba ke Pulau Selayar. 

Matahari sudah tepat di atas ubun-ubun saat Pulau Liang Kareta mulai nampak dari kejauhan. Laju kapal mulai dilambatkan. Para penumpang yang tadinya duduk atau tidur mulai bangkit mempersiapkan barang bawaan masing-masing. Saya pun demikian, mulai mengambil ransel dan perlengkapan Adek Ayyan. Adek sendiri kelihatan bersemangat dengan suasana rekreasi, tapi sayang badannya masih lemah, jadi dia digendong terus sama bapaknya.
A photo posted by Nur Islah (@pulau_ila) on
pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
Saat mesin kapal baru saja dimatikan, anak-anak langsung lompat kegirangan
Karena tidak berencana berenang, saya tidak bawa baju ganti sama sekali. Sementara antara kapal dan daratan masih beberapa meter, airnya pun dalam. Jadi kami dijemput perahu kecil agar bisa sampai di daratan dengan baju tetap kering. Demikian pula dengan bekal makan siang, seember besar nasi sudah dipersiapkan mama mertua saya, dengan lauk ayam goreng, mie goreng, telur rebus dan sambel pedes, semua diangkut bolak-balik dengan perahu mini itu, yang dalam Bahasa Selayar disebut Lepa-lepa.
Pulau Liang Kareta sendiri penampakannya bagaimana?

Seperti kebanyakan pantai di Selayar, pasirnya putih, airnya juga jernih. Yang membedakan pantai ini dengan lain adalah tebingnya. Entah apa ya istilahnya dalam kamus kelautan, di sini beberapa bagian pantai diatapi tebing. Air di bagian bawah tebing ini lebih jernih, cocok jadi tempat berendam walaupun saat matahari sedang terik. Pepohonan di sini juga lumayan banyak sebenarnya, sayang saya tidak bisa cerita banyak soal ini, karena beberapa keterbatasan yang akan saya ceritakan di bawah.
Saya merasa berada di Pulau Liang Kareta di waktu yang salah, karena alasan ini

Kekurangan jalan ramai-ramai adalah kamu harus menunggu semua anggota rombongan siap baru boleh berangkat. Ada yang belum mandi, ada yang baru cari ini itu, ada yang memang gerakannya lambat, dll. Akibatnya kami tiba di pulau saat matahari sudah tinggi. Naylah saja yang berkulit lumayan putih, hanya main pasir beberapa jam langsung menghitam. Kalau saya lebih baik berlindung di tempat yang teduh sebelum bintik hitam di wajah tambah merajalela.
pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
Naylah asyik main pasir
Adek Ayyan masih sakit

Seperti yang saya saya ceritakan di awal tadi, karena perut Adek beberapa hari itu cuma berisi susu, jadi saya tidak bisa santai. Pikiran dihantui bagaimana agar bocah ini mau makan dan mencoba menyuapnya sepanjang waktu. Saya dan Pap Nay berusaha membujuknya makan beberapa suap, sambil dia main air, Alhamdulillah dia mau walaupun masih jauh dari porsi normalnya.
pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
Adek kurus kering :(
Persis yang saya perkirakan sebelum berangkat, Adek merengek minta nyebur ke laut, yang akhirnya terpaksa saya biarkan. Sudah jadi konsekuensi karena mengajak dia ikut ke pulau, melarang anak-anak main air saat di pantai adalah hal yang mustahil kan?

Terlalu ramai

Dengan jarak tempuh 1,5 jam, menggunakan kapal carteran pula, saya tidak menyangka pulau ini akan sangat ramai. Beberapa kapal terparkir di tepi pulau, belum lagi kapal yang hanya mengantar penumpang dan balik lagi. Aduh benar-benar di luar ekspektasi saya, yang mengira akan mengunjungi pulau tak berpenghuni yang senyap. Seorang bapak yang kami tanyai perihal ramainya pulau ini mengiyakan kalau sekarang Pulau Liang Kareta lagi naik daun, kebanyakan turis asing atau domestik minta diantar ke Liang Kareta.
pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
Kapal yang parkir di Pulau Liang Kareta

pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
Ramai, ini baru sebagian pengunjung

Serangan asap

Karena waktunya makan siang, setiba di sana, bekal yang dibawa langsung disiapkan untuk disantap ramai-ramai. Tiba-tiba mata kami semua perih. Astagafirullah kami dikepung asap. Penumpang-penumpang kapal yang baru saja merapat tadi sedang mempersiapkan bara api untuk bakar ikan, mereka menggunakan sabuk kelapa yang mengepulkan asap tebal. Memang sih tidak ada larangan bakar ikan di pantai, tapi karena pantai itu dibentengi tebing, asapnya tidak mengalir, malah mengepung kami yang kebetulan gelar tikar di tengah. Perihnya mata bikin makan siang kami sangat terganggu.
pulau_liang-Kareta_Selayar_Island
Kami kebagian asap, tapi tidak dapat ikan bakar :D
Begitulah kejadian hari itu, jauh panggang dari api, jauh kenyataan dari harapan. Jadi kegiatan saya cuma itu saja, makan siang, menyuap Adek, dan foto-foto (yang ternyata hasilnya blur semua) Hiks

Siang belum berganti sore, tapi rombongan sudah berkemas pulang. Selamat tinggal Pulau Liang Kareta, sayang sekali kami menemuimu di saat yang tidak tepat.

Lokasi : Pulau Liang Kareta, Selayar, Sulawesi Selatan

27 Jul 2016

Tips Belanja Cakar atau Barang Bekas di Parepare

Tips Belanja Cakar atau Barang Bekas di Parepare. Parepare adalah kota pelabuhan, mungkin itu sebabnya barang-barang bekas dari luar negeri seperti China, Singapura, dan Taiwan mudah masuk di kota ini. Memang jika menyebut kota kelahiran Habibie ini, yang terlintas di benak pertama kali adalah cakarnya. Tak heran ajakan ke Parepare kadang kala diselipi kalimat “Ayo maccakar!” maksudnya mari kita beli cakar.
Barang bekas yang dibeli oleh penjual terbungkus di dalam karung, mungkin itulah sebabnya dinamakan cakar (cap karung). Sempat beredar di media massa, sebuah berita tentang akan adanya larangan impor barang bekas ke Indonesia. Hal ini meresahkan masyarakat yang berkecimpung di bisnis cakar, tapi ternyata wacana tersebut tidak memberi pengaruh yang berarti, geliat usaha pakaian bekas di Parepare masih tinggi. Malah pusat perbelanjaannya, yaitu Pasar Senggol sudah direnovasi besar-besaran oleh pemerintah setempat, dengan mengubah konsepnya dari pasar tradisional menjadi pasar yang lebih modern.

Tidak hanya di Senggol, cakar dengan mudah ditemukan di berbagai pusat perbelanjaan tradisional di kota ini; Lakessi, Sumpang, dan Labukkang. Semuanya terbuka setiap hari, dari pagi sampai sore, kecuali pasar Senggol yang mulai beraktivitas dari ba’da azar sampai malam.

Barang-barang cakar diminati oleh masyarakat karena walaupun bekas, tapi kualitas bahan dan jahitan “sampah luar negeri” ini jauh melampaui mutu barang baru yang biasanya dijual di pasaran. Belum lagi jika “merek” disandingkan dengan banderol barunya, nominalnya bisa sangat jauh berbeda. Padahal kondisinya kadang masih sangat bagus lho.

Untuk teman-teman yang mungkin berkunjung ke Parepare dan ingin mencoba belanja cakar, ini saya kasih tipsnya:

1. Pakailah masker

Kesannya niat sekali ya :D
Tapi benar lho pelindung ini penting. Seperti contoh ini: Setiap sabtu pagi di Pasar Sumpang, kondisi pasar berbeda dari biasanya, sepertinya semua pedagang pakaian bekas di Parepare mengelar jualannya di sini, sampai-sampai areal untuk parkiran pun dipenuhi pelapak dadakan. Jangan dikata debu banyaknya bagaimana, sangat banyak. Debu cakar beterbangan sampai jelas terlihat mata. Saat begini masker sangat dibutuhkan.
lihat ibu-ibu ini, semangatnya tinggi kan :D
2. Datang lebih awal

Usahakan datang saat masih pagi jika belinya di pasar Lakessi, Sumpang, atau di Labukkang. Sedangkan jika ingin berbelanja di Pasar Senggol, datanglah pukul 4 atau 5 sore. Saat itu para penjual baru saja membuka lapaknya.
Biasanya penjual menganggap pembeli pertama bertuah, jika transaksi dengan pembeli pertama lancar, maka seluruh transaksi setelahnya akan lancar juga, saat begini kita akan diperlakukan bak raja, bisa menawar barang yang disukai. (Ingat juga jangan keterlaluan nawarnya ya)

3. Pilih penjual yang buka baru

Istilah “buka baru” ini maksudnya barang bekas yang dijual baru datang dan baru saja dibuka karungnya, jadi pembeli bisa puas memilih yang terbaik di saat begini. Tapi umumnya harga buka baru memang beda dengan barang lama, biasanya lebih mahal. Satu dua hari setelahnya, barulah harga turun, tapi ya itu tadi barang pilihannya juga akan berkurang.

4. Totalitas atau berani all out

Biasanya cakar buka baru itu dihambur saja di atas tikar plastik. Sehingga bisa jadi barang bagusnya ada di bagian paling bawah tumpukan yang menggunung. Kalau memang niatnya besar untuk hunting, maka berani malulah! singsingkan lengan baju, pasang masker! obrak-abrik tumpukan itu hahaha. Ingat keberhasilan berbanding lurus dengan usaha.

Kalau mau santai belanja bisa juga sih, barang-barang pilihan pedagang umumnya digantung atau dipajang menggunakan manekin dengan harga lebih premium.
5. Periksa barang dengan seksama

Setelah dapat barang yang kamu sukai, jangan tanya ukuran dan warna lain ya, ingat ini bursa cakar bukan di mall :D

Periksalah baik-baik barang bekas itu. Jika berupa tas, lihat seksama di tempat yang terang, apakah ada yang sobek, apakah warnanya masih bisa mengkilap, bla..bla.. Demikian pula dengan sepatu atau baju. Jika menemukan cacat tapi terlanjur sayang, ketelitian ini bisa dipakai pada proses selanjutnya nanti, yaitu menawar. Biasanya barang yang cacat harganya lebih negotiable.

6. Tawarlah

Soal tawar menawar ini memang pernah ramai di media sosial, sebuah cerita mengharu biru tentang pembeli yang kejam menawar barang semurah-murahnya pada pedagang kecil. Tapi saran saya jika berhadapan dengan penjual cakar, belanjalah dengan cerdas. Karena begini, pedagang itu membelinya per karung, dan jika dibagi per pieces jatuhnya jadi murah. Nanti setelah dipilih-pilih oleh penjualnya, yang bagus digantung dan dipajang, lalu dibanderol dengan harga jauh di atas modal. Nah yang ini perlu ditawar, harga yang disepakati bisa diskon sampai 50% -70 % dari harga pertama lho. Lagipula tidak perlu merasa tidak enak, kalau harga tawaran memang tidak cocok, mereka pasti bakalan menolak juga kok. Tambahan informasi saja, di sini penjual cakar tajir-tajir, rumah mereka mewah dan memiliki banyak properti.

Oh ya, usahakan selalu memakai bahasa lokal ya, yaitu Bahasa Bugis. Kalau tidak bisa, minta ditemani belanja sama yang bisa. Penjual selalu memberi harga yang wajar untuk orang lokal.
7. Mandi

Sepulang dari pasar barang bekas, berarti kamu baru saja selesai mengobrak-abrik debu bekas bule yang bisa jadi berpenyakitan. Mandilah, bersihkan badan sebersih mungkin.

8. Cuci bersih barang bekasnya

Mencuci barang bekas, utamanya pakaian perlu perlakukan khusus. Caranya cukup mudah; Pertama-tama rendam dengan sabun beberapa menit, lalu gosok dan bilas seperti biasa. Langkah selanjutnya diamkan dalam rendaman air panas supaya kumannya hilang. Setelahnya barulah dijemur dan disetrika.
Demikian tips membeli barang bekas atau cakar ala saya. Jika teman-teman mampir di Parepare dan ingin mencoba sensasi berburu cakar, mudah-mudahan tips di atas bisa membantu.

24 Jul 2016

Dari Matalalang ke Batu Karapu

Dari Matalalang ke Batu Karapu. Jika Bali adalah Pulau Dewata, maka Selayar mungkin pulau lainnya para dewa. Begitu banyak keindahan di kabupaten paling selatan ini, baik yang sudah mendunia maupun yang belum terjamah media. Sampai-sampai walaupun sudah bertahun-tahun ke Selayar, daftar objek wisata yang belum saya datangi masih panjang.

Kali ini saya akan bercerita tentang petualangan sehari mengunjungi objek wisata laut. Rombongan kecil; saya, Pap Nay, Tetta, dan Kak Ani, mengendarai motor pagi itu. Sengaja berangkatnya dini hari, selain karena saat itu para bocah masih lelap, juga untuk menghindari kulit gosong terpapar matahari siang.
Hutan Mangrove Matalalang

Hutan-Mangrove-Matalalang
Hutan Mangrove Matalalang
Kami mengunjungi tempat ini pertama kali karena lokasinya sangat dekat dari kota Benteng, hanya sekitar 3 km saja ke arah selatan. Beruntungnya kami tiba saat jalanan untuk pengunjung sudah dibangun. Kayu-kayu yang terpasang tampak masih baru, memanjang menjorok sampai ke laut. Sayang, kualitas kayu yang digunakan tidak begitu bagus. Mudah-mudahan tahun depan jika kesini lagi, semuanya masih utuh.
Hutan-Mangrove-Matalalang

Pagi-pagi diberi pemandangan hijau begini, hati jadi adem. Apalagi tidak ada orang selain kami berempat. Melangkah beberapa meter ke depan bikin tambah adem lagi.  Sayang tidak bawa kopi dan pisang goreng, kalau iya, mungkin kami ngaso lama di sini.

Hutan-Mangrove-Matalalang
Air laut di Matalalang sangat jernih, tenang tidak beriak. Kamu bisa melihat bayanganmu sendiri terpantul utuh. Air laut yang diterpa sinar matahari pagi, permukaannya tampak berkilau indah.
Hutan-Mangrove-Matalalang
What a beautiful morning!

Hutan-Mangrove-Matalalang

Waktu berkapal pulang dari Pulau Liang Kereta beberapa hari setelahnya, saya sempat melihat penampakan hutan mangrove ini dari kejauhan. Dilihat dari laut, hutan ini cukup panjang dan rimbun, sayang tidak sempat ambil gambarnya, karena waktu itu HP dibajak Ayyan, tidak mau dilepas pula walau dibujuk pakai kalimat apapun.

Tanjung Batu Karapu

Pagi itu, setelah puas menikmati pemandangan laut dan hutan bakau di Matalalang, Tetta mengajak kami ke sebuah tempat yang menurutnya “gammara”. Sedikit-sedikit saya mulai paham Bahasa Selayar, gammara berarti bagus atau indah. Bahasa Selayar sangat jauh berbeda dengan Bahasa Bugis, pengucapannya lebih mendekati Bahasa Makassar. Mungkin karena hidup di daerah pantai, suara orang Selayar juga lumayan keras, dan sering kebawa-bawa walaupun mereka memakai Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya sampai sekarang, saya masih sering ngambek, mengira suami marah karena bersuara keras.

Soal suara keras ini beberapa kali terjadi kejadian ini; saat saya sedang memasak di dapur, tiba-tiba terdengar suara ribut. Buru-buru saya mematikan kompor dan berlari keluar karena mengira Pap Nay sedang perang mulut dengan seseorang. Eh rupanya dia sedang ngobrol dengan teman sekampungnya di telepon.

Kok jadi ngomongin bahasa ya :D

Balik lagi ke topik cerita.

Untuk menuju ke Tanjung Batu Karapu, kami harus melewati jalan yang agak menantang. Tetta sang pemandu harus bertanya ke penduduk setempat, belokan mana tepatnya kami harus menuju. Jadi di postingan ini saya tidak bisa menjelaskan detail alamatnya, lha penunjuk jalannya saja masih bingung hehehe.

Nah setelah mengikuti rute sesuai petunjuk ibu yang kami tanyai tadi, jalanan yang dilewati mulai sempit di areal perkebunan pohon kelapa. Tidak lama kemudian jalanan menanjak, menurun, menanjak lagi di areal hutan yang sepertinya baru saja dibabat dan dijadikan jalan. Babatan cukup luas, pemerintah Selayar sepertinya menaruh perhatian besar pada objek wisata ini. Walaupun masih dalam proses pengerjaan, jelas jalan yang dibuat direncanakan cukup lebar, keadaan tersebut sama sampai kami tiba di tempat tujuan.

Tibalah di persimpangan, kami tidak menemukan seseorang pun untuk ditanyai. Kanan atau kiri? Akhirnya motor dibelokkan ke kanan dulu. Sepertinya benar, 3 anak muda baru saja memarkirkan kendaraannya. Kami lalu mengekori mereka berjalan kaki menerobos hutan (hallah…bahasanya, padahal hanya beberapa meter melangkah :P)

Hutan berada di ketinggian, beberapa tanaman khas hutan seperti kemuning tumbuh liar di sini. Pap Nay mencoba mencabutnya, tanaman yang bunganya berbau harum ini ternyata berakar sangat kuat, tiba-tiba saya menyesal tidak bawa linggis, gagal lah kami mengadopsi kemuning untuk dijadikan bonsai di rumah.

tanjung-batu-karapu
Tetta yang berjalan mendahului kami berteriak, mengajak kami ke tempat dia berdiri, karena pemandangan di situ lebih indah. Memang benar indah tapi serem. Coba lihat tempat kami foto-foto itu. Tingginya mungkin 40 meter dari atas air laut, tidak ada pagar pelindung. Tanahnya berkerikil, benar-benar rawan tergelincir.  Kami memutuskan cepat-cepat beranjak, ini bukan tujuan utama kami, tapi di bawah, yaitu tanjung yang kami lihat dari ketinggian ini.

Jadi perjalanan dilanjutkan menuju persimpangan tadi, kali ini kami ke kiri. Beberapa menit kemudian, kami sampai. Benar kata Tetta, tempat ini gammara. Waktu kami tiba, suasana tanjung masih sepi, pengunjung ada tapi sudah siap pulang. Kami seperti berada di pulau pribadi.


tanjung-batu-karapu
Surga tersembunyi


tanjung-batu-karapu
Pasirnya putih bersih

Pantai di sini benar-benar bersih, dibandingkan pantai-pantai sebelumnya yang saya pernah kunjungi, inilah maskotnya, the best-nya, juaranya. Kurang apa coba, saat hampir tiba saja, karena kami di ketinggian, kami disuguhi pemandangan rimbunnya hutan, lanjut turun ke bawah dapat pasir lembut yang superrrr putih, terus memandang ke depan, ada birunya laut yang aduhaiiiii jernihnya, terus mendongak ke atas, eh ada tebing tinggi menjulang yang eksotik. Tidak cukup sampai di situ, melayangkan pandang jauh ke kanan, ada tebing bercincin yang menjorok kelaut. Yang terakhir yang disebut itulah yang jadi latar aksi foto selfie yang ramai di linimasa.
tanjung-batu-karapu
di bagian ini banyak kepiting kecilnya


tanjung-batu-karapu
dibentengi tebing yang tinggi
tanjung-batu-karapu
tanjung-batu-karapu
mirip bentuk kepala ikan kerapu
Tadinya saya pikir akan sulit menginjakkan kaki di sana, karena mengira harus melewati air yang tingginya sampai dada. Rupanya salah, cukup buka sandal, gulung celana sampai sebetis, kamu bisa berada di balik karang itu. Kami melewati lobang serupa cincin itu dan menemukan ada lagi cincin serupa menanti. Ih keren!


tanjung-batu-karapu
menjelang siang, lumayan juga panasnya
tanjung-batu-karapu
ini cincin yang saya maksud

A photo posted by Nur Islah (@pulau_ila) on
Batu Karapu memiliki cerita mitos yang wallahualllam benar tidaknya. Cerita ini saya dapatkan dari mama mertua setelah kembali ke rumah.

Jaman dahulu, seekor ikan kerapu yang berukuran sangat besar terdampar di tanjung ini. Lama dia berusaha meloloskan diri tapi tidak bisa juga kembali ke tengah laut. Jadi untuk bertahan hidup, si ikan menyantap apa saja makhluk hidup yang lewat di dekatnya, termasuk manusia. Seiring waktu si ikan kerapu akhirnya mati dan berubah menjadi batu.

Demikianlah asal mula nama Tanjung Batu Karapu. Kabarnya lagi, Tanjung Batu Karapu di jaman dulu adalah tempat yang angker, kapal banyak yang karam terhempas di tebing. Memang jika musim barat, air laut lebih ganas.

Begitulah cerita petualangan saya satu hari itu. Menyambangi kedua tempat yang saya ceritakan di atas sebenarnya hanya memakan waktu setengah hari, tapi di pertengahan jalan pulang, kami singgah silaturahmi di kediaman beberapa keluarga, dan sempat terjebak hujan pula. Jadinya tiba di rumah menjelang sore.
 

14 Jul 2016

Suatu Pagi Di Matalalang

Andai hari selalu begini
Seperti di Matalalang…
Pagi datang perlahan
Tak ada rusuh mencari kaos kaki sebelah
Tak ada kejaran detik menuju pukul delapan
Tak ada suapan nasi tergesa
Hening belaka

Tenang dan damai alam
Luas cemerlang kilau lautan
Daun mangrove bergerak perlahan
Dirayu angin yang meniup pelan
Mentari pun hangat menyapa

Tangan kita bertaut
Melangkah beriring
Menelusuri setapak di tengah rumpun hijau
Membuang lelah…
Menghalau kepenatan

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar

hutan-mangrove-mata-lalang-selayar