30 Jul 2015

Tips Mengajar Anak Membaca Al Quran

Bahasan mengenai judul diatas sudah pernah saya tulis sebelumnya di Guraru, situs yang diperuntukkan untuk para guru, tapi nekat untuk ikut juga kompetisi menulisnya disini walaupun bukan guru. Dan Alhamdulillah belum menang. Walaupun belum menang, setidaknya saya bisa berbagi pengalaman dan mudah-mudahan membawa manfaat.
 
Pada saat menulis artikel lomba di Guraru, saya berbagi tips mengajarkan anak sendiri belajar membaca Al Quran
Dari pengalaman saya mengajar anak sendiri, berikut tips sukses mengajar anak Balita belajar membaca Alquran:

Buat suasana menyenangkan

Anak-anak umur 5 tahun kebawah hanya mampu fokus belajar paling lama 5-7 menit. Setelah menit ke-7 biasanya anak-anak akan merasa bosan. Untuk itu, setiap menyelesaikan satu lembar pelajaran, saya akan melakukan selingan menyanyi huruf Hijayyah yang lirik dan lagunya saya tiru dari internet. Ini contoh lagu yang sering saya jadikan selingan. Bahkan untuk menambah semangat Naylah, saya dan dia menyanyikannya sambil bermain tepuk tangan. Tangan saya dan tangan Naylah saling menepuk mengikuti lagu yang dinyanyikan. Biasanya setelah bernyanyi, Naylah akan kembali belajar dengan semangat lagi.

Fokus ke anak dan seringlah memuji

Jangan mengajar anak sambil melakukan hal yang lain. Memang sebagai ibu kadang kita dituntut multitasking, tapi kalau urusan mengajar anak sebaiknya fokus keanaknya. Naylah semangat membaca Iqronya, karena diawal-awal proses belajarnya, setiap kali dia menyebut satu huruf dengan benar, saya akan menimpalinya dengan mengatakan “good” atau “very good”. Walaupun mulut pegal menyebut kata tersebut, tapi sangat efektif menjaga semangat dia untuk terus membaca. Dia menjadi tahu bahwa dia diperhatikan selama belajar dan berusaha menyebut huruf dengan benar.

Usahakan Rutin

Saya tidak pernah memaksa Naylah belajar. Tapi saya usahakan dia mau belajar Iqro tiap hari. Waktunya flexible, bisa pagi hari, siang hari, atau malam hari. Tergantung kesiapan anaknya saja. Yang rutin saya lakukan adalah mengingatkannya “Eh, Kakak belum baca Iqro ya hari ini”, kalau dia memang mau, dia akan segera mengambil buku Iqronya. Memulai membaca 1 lembar, jika masih ada keliru 1 huruf saja dalam lembaran itu, dia akan mengulanginya 2-3 kali sampai tidak ada lagi yang keliru. Itu sudah cukup untuk hari itu. Sekali dalam satu hari lebih baik dari pada berkali-kali dalam sehari tapi tidak rutin dilakukan. Kadangkala, Naylah hanya mau membaca satu kali saja, dan tidak mau mengulanginya lagi, jika terjadi hal ini saya tidak memaksanya untuk mengulangnya, lembaran itu akan diulang keesokan harinya.

Gunakan media interaktif

Saya sangat terbantu dengan laptop dan internet dalam proses mengajar ini. Saya akan membuka youtube dan memperlihatkan kepada Naylah cara penyebutan huruf yang benar. Linknya banyak diyoutube. Lagu-lagu huruf Hijayyah diyoutube juga sangat membantu. Pengenalan awal huruf Hijayyah sebaiknya diawali dengan menghapalnya dengan menggunakan cara menyanyikan lagu, itu sangat efektif.

Jangan memaksa

Jangan pernah memaksa anak-anak. Karena masa kanak-kanak adalah masa bermain. Ketika anak tidak siap belajar, jangan dipaksa, biarkanlah dia bermain. Jika kita memaksa anak, anak-anak akan trauma dan akan merasa proses belajar itu adalah sesuatu yang menjengkelkan. Jika melihat anak mulai bosan dengan permainannya dan butuh ide kegiatan apa selanjutnya yang sebaiknya dilakukan, segera berikan saran dengan nada riang untuk belajar Iqro.
***
Kelihatan dan kedengarannya mudah ya? Memang benar, lebih mudah ketika mengajar anak iqro 1, dan menjadi sulit segera setelah saya menulis artikel tersebut, karena Naylah sudah memasuki bagian akhir Iqro 2. Kesulitan disini saya sebut tantangan, supaya lebih berkonotasi positif dan tidak melemahkan semangat.
 
Tantangan-tantangan mengajar anak membaca Al Quran

Kesulitan pertama adalah Naylah frustasi dengan kesalahan-kesalahan penyebutan yang dia sebutkan. Biasanya dia enteng saja ketika iqro 1 karena iqro 1 memang relatif lebih mudah, hanya pengenalan huruf, sehingga semangat belajarnya tinggi, dan menjadi lebih mudah membujuknya jika sedang tidak mood belajar. Dipertengahan Iqro 2, mulailah penyebutan panjang pendek huruf ditekankan, dan tidak boleh lanjut kehalaman berikutnya jika masih keliru. Disinilah Naylah merasa frustasi, dia ingin semua yang dia sebutkan benar saja. Karena saya tidak ingin Naylah belajar dengan terpaksa, bagian menyenangkan hatinya dan mencoba mengajaknya membaca iqro menjadi tantangan tersendiri. Jika dia merengek dan berkata dia tidak suka membaca Iqro, biasanya saya akan bercerita tentang indahnya surga, tentang orang-orang yang terpilih masuk surga adalah orang-orang yang rajin baca Al Quran. Biasanya setelah cerita panjang lebar tentang surga, dia akan semangat lagi baca iqronya.
 
Tantangan kedua adalah sangat berbeda psikologi anak ketika berhadapan dengan pengajar yang notabene adalah ibunya sendiri dibandingkan jika berhadapan dengan pengajar professional. Jika yang mengajar ibu sendiri, anak lebih leluasa mengungkapkan kekesalan, merajuk, ataupun jika ingin bermain. Tentu sangat berbeda jika diajar oleh seorang professional atau orang lain, anak akan lebih merasa segan, dan mungkin saja tertekan. Point kedua ini sekaligus menjadi kelebihan jika mengajar anak sendiri, ibu lebih cepat memahami anak sendiri jika sudah capek atau sedang tidak mood untuk belajar. Hal ini sangat penting, jangan sampai anak kita merasa terpaksa untuk belajar, dan menganggap proses belajar itu sesuatu yang horror dan terpaksa dijalani.
 
Demikianlah tantangan mengajar anak sendiri belajar membaca Al Quran. Sulit memang, tapi ternyata bisa ketika diusahakan. Saya mengusahakan agar tiap hari dia mau mengulang bacaannya, sekali sehari. Beberapa bagian yang memang sulit sampai harus diulang selama berminggu-minggu. Bagi saya tidak masalah dengan cepat atau lambatnya dia menguasai pelajaran, toh dia masih kecil, tapi yang utama prosesnya. Ketika Naylah menganggap membaca iqro sudah menjadi rutinitas hariannya, kegiatan itu akan tertanam didirinya. Dan Alhamdulillah, seringkali ketika saya pulang dari kantor, dialah yang tiba-tiba mengingatkan kalau hari ini belum belajar iqro.
Alhamdulillah setelah kurang lebih 4 bulan mempelajari iqro 2, sekarang Naylah memasuki Iqro 3. Oow ya jika anak berhasil pindah level, sebaiknya beri hadiah. Tapi jangan dijanjikan hadiah, supaya anak-anak tidak berorientasi hadiah ketika menjalani proses.
 
Video dibawah dibuat kemarin, Naylah sedang membaca Iqro 3, karena bagian itu memang mudah, dia semangat sekali membacanya.

Apa sih keuntungan mengajar anak sendiri membaca Al Quran?
 
Alasan utamanya cuma satu Bunda-bunda, yaitu amal jariyah!, keuntungan-keuntungan lain seperti hemat bayar jasa guru ngaji atau hilangnya kerepotan mengantar anak-anak ke TPA adalah bonus saja.
 
Bayangkan jika kita mengajar anak sendiri membaca Al Quran, amalan-amalan anak kita kelak yang sehubungan dengan kemampuannya membaca Al Quran akan menjadi amal juga bagi ibunya. Dan amal jariyah ini bergulir seperti bola salju, semakin jauh bola salju meluncur akan semakin besarlah ia, dan besarnya tidak akan terbendung.
 
Keuntungan kedua adalah, karena pengajar itu sejatinya harus menguasai apa yang diajarkannya. Mengajar anak membaca Al Quran memaksa kita untuk kembali memperbaiki penyebutan huruf dan tajwid sendiri.
 
 
Itulah pengalaman saya mengajarkan anak sendiri membaca Al Quran menggunakan metode Iqro. Jika emak-emak lain tertarik, bisa kok dicoba. Buku Iqro yang biasa dibaca Naylah karya KH. As'ad Humam dengan tampilan cover seperti dibawah, harganya murah, kemarin beli di Gramedia, harganya tidak sampai 20rb. Beli online malah lebih murah, ada yang harganya cuma Rp.6.500.
Sumber Gambar

Di Youtube banyak video cara belajar dengan menggunakan metode Iqro. Tapi video yang biasa saya pakai yang ini:
Belajar Iqro 1:
ttps://www.youtube.com/watch?v=MyrUzSt5fF8&list=PLZ0zu83dhNv6zCRpsZytmej3-4ZuSpYuw&index=2
Wassalam
Parepare, 29 07 2015
Nur Islah

28 Jul 2015

Perjalanan Ke Selayar Part 1 : Keindahan Tanah Bugis

Suami saya sebenarnya bersuku Bone, ayah ibunya berasal dari Bone, tapi karena diboyong oleh orang tuanya untuk menghindari kekejaman gerombolan pemberontak waktu itu, maka kakek nenek suami hijrah ke Selayar yang katanya dulu memang jadi tempat bersuakanya penduduk daerah lain di Sulsel.
 
Kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman pulang kampung ke Selayar yang berbeda dari tahun tahun sebelumnya.
 
Setiap tahun, saya dan suami selalu lebaran Idul Fitri di Selayar, kecuali pada saat adik Ayyan baru lahir, kami memutuskan tidak pulang kampung. Membawa bayi yang baru lahir pulang kampung sangat tidak aman dimusim mudik.
 
Seperti biasa, mudik sesak dimana-mana, begitupula dengan pemudik tujuan Pulau Selayar. Sepertinya pulau ini juga memiliki banyak penduduk yang merantau keluar pulau. Buktinya setiap tahun kami pasti menderita dengan arus mudik kesana.
 
Hanya ada dua cara menyebrang ke Selayar, yaitu lewat laut menggunakan feri dan dan lewat udara menggunakan pesawat, tapi baru satu kali kami kesana dengan pesawat, sisanya menggunakan Feri, dulu juga ada kapal cepat tapi sekarang tidak beroperasi lagi, jika lewat laut, transportasi yang tersisa hanya menggunakan feri. Kenapa menggunakan feri? tetap alasan klasik, lebih MURAH.
 
Sebelum sampai keacara nyebrangnya, kami harus tiba dulu di Pelabuhan Bira di Kabupaten Bulukumba. Disinilah feri menyebrang menuju Pulau Selayar. Untuk tiba ke Bira, kami harus lewat jalan darat dulu. Disinilah perbedaan perjalanan kami kali ini. Biasanya kami akan melewati jalur ini tahun-tahun sebelumnya: Kami start dari Parepare- Makassar – Gowa – Jeneponto – Bantaeng – Bulukumba. Jika perjalanan ini dilakukan dimusim mudik, perjalanan sungguh tidak nyaman, jalan-jalan poros akan dipenuhi dengan kendaraan yang juga mudik. Apalagi kami harus lewat Makassar yang jalanannya super macet, tanpa dilewati pemudikpun Makassar selalu macet, ditambah dengan pelintas dari berbagai daerah semakin membuat jalanan Makassar- Gowa semakin macet saja. Sangat tidak nyaman.
 
Ketidaknyamanan dengan kemacetan ini juga bertambah dengan tidak nyamannya melintasi daerah Jeneponto yang kabarnya tidak aman, beberapa titik didaerah Jeneponto rawan dimalam hari, kabarnya para perampok kadang standby disitu menghadang mobil para pemudik. Membuat kami was-was dan menghindari melintasi daerah itu dimalam hari.
 
Tahun ini menjadi berbeda karena kami berangkat ke Pelabuhan Bira melewati jalur ini Sidrap- soppeng- Bone- Sinjai – Bulukumba. Jalur ini berkebalikan 180 derajat situasinya dibandingkan dengan melewati jalur Makassar tadi. Sepanjang jalan kehijauan semata, khususnya daerah Bone. Sepanjang jalan terhampar sawah yang hijau, berundak-undak berbentuk senkedan layaknya pemandangan di Bali. Pohon-pohon besar berdiri kokoh sepanjang jalan. Karena kami berangkat setelah sholat Id, jalanan pun lengang, hanya diisi dengan beberapa kendaraan yang sepertinya tujuannya untuk bersilaturahmi, bersahabat dan tidak terburu-buru.
 


 
 
Sebelum memutuskan berangkat ikut suami pulang ke Selayar, saya sudah meminta dengan sangat pada Pap Nay, untuk diisinkan singgah jika melihat sesuatu atau pemandangan yang bagus, dan Pap Nay berbaik hati mau mengambil foto setiap kali ada pemandangan yang rasanya berat untuk tidak diabadikan. Walaupun kadang-kadang Pap Nay keliatan mau protes karena memakan waktu banyak menyetir sambil singgah-singgah, tapi dia mau juga mengikuti kesepakatan yang sudah ditetapkan diawal.
 
Keindahan pemandangan tanah Ogi yang sejuk dan hijau semata, membuatku sebagai anak keturunan bugis menjadi sangat bangga. Hamparan padi yang luas memberi bukti bahwa tanah kami memberikan sumbangsih yang besar dalam hal penyediaan beras, jika melihat luasnya sawah seharusnya beras impor sudah tidak ada lagi di Indonesia.

Kami juga melewati bangunan pabrik gula di Bone, sebenarnya tidak melewati benar, kami hanya memandangnya dari kejauhan. Penduduk disekitar pabrik gula, menanam tebu dengan jumlah yang sangat banyak. Hal ini membuatku bertanya-tanya mungkinkah penduduk merasa lebih mengutungkan memanen tebu daripada beras.
 
Setelah melewati kabupaten Bone, kami kemudian melewati kabupaten Sinjai, saya kurang menikmati daerah ini karena kami tiba magrib. Pemandangan gelap dan jalanannya lumayan menantang, berbelok-belok dan membuat mual. Tidak begitu lama meninggalkan kota Sinjai, kami akhirnya tiba di Tanete, tempat kami menginap. Ternyata rumah Darma, seroang sepupu yang menikah dengan orang Tanete lumayan jauh juga, setelah jalan poros, kami harus masuk ke second road yang agak panjang dan gelap. Untungnya suami Darma berbaik hati mau menjemput kami dijalan poros dan memandu kami sampai dirumah.
 
Kami berangkat ke Pelabuhan Bira pagi hari, perjalanan kali ini menghibur mata lagi. AC mobil dimatikan, kaca jendela diturunkan. Kami melewati banyak pohon-pohon besar dan perkebunan karet. Benar-benar memanjakan paru-paru yang biasanya lebih sering menghirup polusi.







Hijau...hijau...hijau
 
Yang membahagiakan dengan perjalanan ini, mungkin karena kesejukan suasana disetiap perjalanan, Naylah dan Adik Ayyan tidur terus sepanjang jalan. Perjalanan menjadi lebih adem, jauh dari hiruk pikuk rengekan dan teriakan. Pap Nay pun menyetir dengan tenang, kami bercerita sepanjang jalan.
Mudik kali ini bukan MUDIK, melainkan ON VACATION saja.
 
Selayar, 22 07 2015
Nur Islah