3 Mar 2015

Review : Perempuan di Rantai Kekerasan



Buku ini berisi sepuluh cerita pendek dari sepuluh finalis lomba KISAH 2007. Seluruh kisah berdasarkan kisah nyata dari pelakunya yang sebagian adalah penulis sendiri ataupun narasumber. Bab pertama berisi kisah dari pemenang pertama, “Aku Memilih Bahagia”. Namanya pemenang pastinya telah melalui seleksi yang ketat, dan memang benar kisahnya menyentuh. Ummi kalsum yang menceritakan masa kecilnya yang penuh dengan kekerasan dari Bapak, dan dibiarkan oleh ibunya.

Karena satu dan lain hal, aku menjadi gadis kecil yang sangat perasa, juga tumbuh serba minder. Sebabnya begini: dari kecil Ibu sering bilang “Waktu kamu lahir, saya nangis. Karena tubuhmu biru dan parasmu jelek”. Tanpa diberi informasi itu akupun sadar parasku lain dari pada yang lain. Membuatku bertanya-tanya. Kalau Bapak Marah kepadaku dia membentak, “Dasar Sokari! Kenapa sih parasmu kok jelek sendiri!” Sokari itu sepupu Bapak yang memang berparas buruk. Waktu Ibu mengandungku, konon Bapak sering menyumpah-nyumpah sepupunya itu. Akhirnya jika bertengkar denganku, saudara-saudarakupun lambat laun mengatai “Sokari!” dan Ibu melengkapi celaan itu dengan mengatakan “Saya mungut kamu di tempat sampah, makanya kamu jadi begini…” (Perempuan di rantai Kekerasan, Hal 4).

*****
Yang membuatku menangis sepanjang membaca cerita adalah kisah nyata pemenang ketiga. “Bejana Hidupku” seorang putri Yogyakarta yang cantik, manis, lembut sopan, yang masa kecilnya penuh kekerasan dari Bapak. Untungnya dia memiliki ibu yang baik hati dan teman imajiner yang dia panggil Malaikat “Mal”. Roro S. Wringinsari bercerita dengan gaya bertutur dari sudut pandang anak kecil yang dianiaya benar-benar membuatku menangis keras, pakai suara pula hehehe. Benar-benar menangis, seperti menangis setelah putus cinta, lengkap dengan tumpukan tissue bekas disampingku.

*****
Dari cerita-cerita dibuku ini, saya belajar bahwa para pelaku kekerasan yang tega melakukan kekerasan fisik dan mental kepada anak istrinya adalah orang-orang yang masa kecilnya juga mengalami hal yang sama ; menyaksikan ibunya disiksa dan dicambuk oleh Bapaknya, menjadi korban kekerasan dari Bapaknya sendiri. Menjadi seorang pelaku kekerasan akan membuat lingkaran setan bagi dirinya sendiri, turun-temurun keturunan akan meniru secara sadar atau tidak sadar apa yang menjadi trauma dimasa kecilnya.

Beruntunglah istri-istri yang mendapatkan suami yang tumbuh dari keluarga yang harmonis, yang dibesarkan penuh cinta kasih oleh Ibu Bapaknya. Suami-suami yang berasal dari keluarga harmonis hampir bisa dipastikan tidak akan tega melakukan kekerasan kepada istri dan anaknya. Benarlah petuah orang tua, jika memilih suami atau istri, lihatlah juga asal muasalnya, lihatlah dulu keluarganya.

2 komentar:

  1. baca review-nya aja udah bikin menahan napas. gimana baca bukunya Mbak, banjir air mata kali yaa :(

    BalasHapus
  2. iya mba, siapin Tisssu banyak2 hehehe

    BalasHapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis