Pages

22 Agu 2016

Full day School? Yes or No?

full-day-school-yes-or-no
Jika disuruh mengulang masa-masa sekolah, tentu saja saya menolak. Pergi pagi, pulang siang, dengan setumpuk oleh-oleh PR yang harus disetor besok adalah makanan sehari-hari siswa. Bukan 1-2 pekerjaan rumah, tapi hampir di semua mata pelajaran. Kadangkala saya bingung memilah mengerjakan yang mana, PR dulu atau belajar untuk ujian keesokan harinya.

Contohnya begini, dalam satu hari: Guru matematika memberikan 10 nomer pekerjaan rumah, guru Bahasa menyuruh membuat karangan satu halaman, dan guru Fisika bilang “besok kita ujian”

Rasanya jika sudah begini, kepala seperti akan terbelah.

Tapi dari semua, yang paling menakutkan adalah ulangan harian Fisika. Saya sangat lemah di bidang studi ini. Nilai tertinggi paling banter dapat 5, apalagi gurunya ketat memberikan nilai. Walaupun turunan rumus yang kami buat sepanjang tol, kalau hasil akhirnya salah poin yang didapatkan nyaris nol. Saya pernah bertekad dapat nilai yang lebih baik, penasaran juga kok dapat merah terus, jadilah saya belajar mati-matian sampai tengah malam, ternyata hasilnya tetap sama. Akhirnya saya menyerah, menerima kenyataan bahwa fisika tidak menyukai diriku dan demikian pula sebaliknya :D

Kadangkala, demikian banyaknya PR, saya dan gank langsung ke rumah teman belajar kelompok. Biasanya di rumah Nina yang mamanya terbaik sedunia. Jika ke sana seringkali sop ubi mengepul sudah menanti kami yang memang sudah kelaparan. Biasanya kami menyeret Mamat. Dia sangat cerdas dalam ilmu eksakta, dialah yang selalu mengajari kami. Mamat sangat baik, rajin mengingatkan kami sholat. Dan satu lagi, dia naksir berat sama Nina hahaha.(Namanya pakai samaran ya, takut ada yang protes)

Kalau sudah belajar kelompok begini, penderitaan sedikit berkurang, malam harinya diisi mengerjakan PR yang lain, atau mempelajari bahan ujian untuk keesokan harinya. Kalau mengingat penderitaan zaman sekolah dulu, saya kadang heran sendiri, kok bisa saya melaluinya sampai bertahun-tahun tanpa kepala bocor karena over load *Maaflebay

Pada tahun pertama sekolah di SMU, saya sempat merasakan full day school, walaupun waktu itu tidak begitu lama karena kebijakan masih dalam tahap percobaan. Tak jarang saya harus membawa bekal supaya lebih irit. Maklum untuk balik lagi ke rumah rasanya lebih merepotkan. Jalanan menuju rumah menanjak dan lumayan jauh, jika dikombinasikan dengan rasa lapar dan sengatan matahari yang tepat di atas ubun-ubun, pulang makan siang adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan.

Untungnya zaman SMU memang masa entah kenapa sepertinya persoalan hidup tidak ada. Secapek apapun, menjalani keseharian tetap terasa enteng. Tidak ada cicilan, tidak ada tagihan listrik. Seputar kepala kita, palingan tentang berat badan. Selalu ada praduga; setiap kali selesai ngebakso berat badan pasti naik sekilo. Kami selalu belok ke ruang UKS pinjam timbangan sepulang dari kantin. Atau seputar ini: memikirkan surat-surat cinta pacar di kota sebelah yang semakin lama semakin pendek, dan akhirnya terhenti sama sekali.

Eh sepertinya saya sudah sangat melenceng dari topik ya, padahal inti tulisan saya kali ini adalah menanggapi tulisan mak Yuniarti Nukti tentang full day school yang diwacanakan pak menteri baru-baru ini. Tulisannya bisa dibaca di sini.

Apa sih Full day school itu?

Sekolah full day artinya siswa/siswi berada di sekolah dari pagi sampai sore. Salah satu pertimbanganmnya adalah karena banyak kaum ibu yang tidak full time di rumah, tapi kerja di luar sampai sore. Diharapkan anak-anak sepulang dari sekolah tidak menjadi liar tanpa pengawasan orang tua. Anak-anak bisa lebih terkontrol di sekolah dengan pelajaran tambahan dari gurunya. Kan asyik, pas anaknya pulang, ibu bapaknya juga sudah di rumah.

Kira-kira begitulah tujuan konsep ini. Apakah saya setuju?

Bisa ya dan bisa tidak.

Saya tidak menyarankan full day school apabila diterapkan di sekolah umum seperti tempat saya sekolah dulu. Saya tidak tahu pasti sistem pendidikan sekolah menengah sekarang bagaimana, apakah masih banyak tugas dan PR, tapi jika demikian, sekolah full day akan menjadi neraka bagi anak-anak. Bayangkan saja, sekolah menyita hampir semua waktu, mulai dari pagi sampai sore. Pulang ke rumah pun demikian, PR-PR harus segera dikerjakan dan akan menyita waktu anak-anak di malam hari. Jadi tujuan untuk merekatkan hubungan orang tua dan anak setiba di rumah tidak tercapai.

Saya setuju untuk full day school, tapi jangan diterapkan sapu rata.

Untuk sekolah seperti tempat Naylah belajar sekarang, saya merelakan dengan ikhlas anak saya menghabiskan waktunya dari pagi sampai sore di sana.

Anak saya sekolah di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu). Sekolahnya terbilang masih baru, belum punya lulusan dengan siswa tingkat tertinggi duduk di kelas 5. Ini tahun pertama Naylah belajar di sekolah itu, sehingga jam pulangnya masih cepat, pukul 2 siang, tapi kakak-kakak kelasnya yang lain belajar sampai sore.

Pelajaran di SDIT subhanallah sekali. Sampai-sampai saya sempat menyesali diri telah menghabiskan masa kecil di desa tanpa sekolah sejenis.

Setiba di sekolah, anak-anak harus sholat dhuha berjamaah terlebih dahulu. Mau tidak mau Naylah harus ikut. Sholatnya dilakukan dengan bacaan yang kencang, baik bacaan surah-surah maupun bacaan-bacaan sholat yang lain, seperti bacaan saat rukuk, sujud, dll. Jadi anak-anak terbiasa dengan bacaan sholat tanpa sengaja menyuruh mereka menghapalnya.
full-day-school-yes-or-no
Anak SDIT sholat dhuha sebelum kelas eskul dimulai
Anak-anak hiperaktif yang suka ribut di kelas, diberi waktu sejenak sebelum pelajaran dimulai. Mereka dibiarkan ribut dan memukul meja sesukanya dengan syarat jika sudah waktunya belajar mereka harus mengikuti pelajaran dengan tenang.

Aduh, zaman saya sekolah saya dulu, memukul meja bukannya dibiarkan, malah dijewer.

Di sini, anak saya lebih banyak belajar etika, tata karma dan bagaimana akhlak yang mulia, bukannya fokus mengejar nilai harus tinggi. Anak-anak juga dibiasakan dengan sistem pemberian bintang. Murid yang diberi bintang bukan yang mampu menjawab dengan benar, tapi mereka yang berani mengajukan diri untuk menjawab. Bintang juga didapatkan oleh anak yang berkelakuan baik, seperti mau berbagi bekal dengan temannya, memungut sampah tanpa diminta, sholat dengan khusuk dll. Bintang yang dikumpulkan anak-anak dihitung setiap jumat, anak yang memiliki sepuluh bintang atau lebih akan diberi penghargaan berupa bintang emas dan hadiah.
full-day-school-yes-or-no
Siswa-siswi kelas Abu Bakar 
Naylah selalu melapor soal bintang ini tanpa diminta, kata dia bintang terbanyak dia dapatkan karena selalu patuh perintah Bunda untuk tidur siang.

Jadi di sekolah, setelah melakukan aktivitas, anak-anak dibiarkan tidur pada pukul 11 sampai menjelang sholat dhuhur. Ini bukannya tidak beralasan, anak-anak akan menjalani aktivitas sampai pukul 4 sore, sementara mereka sudah bangun sejak subuh, jika tidak tidur siang, bisa dipastikan mereka kesulitan menerima pelajaran dengan baik karena lelah dan mengantuk.

Selama kurang lebih 2 bulan sekolah, Naylah belum pernah dapat PR. Waktu tes masuk dulu, gurunya sempat mengsosialisasikan hal ini, PR akan sangat jarang diberikan kepada siswa, karena itu tadi, anak-anak butuh istrirahat dan bermain di rumah.

Bagusnya lagi sekolah hanya berlangsung 5 hari, adapun hari sabtunya diisi dengan kegiatan ekstra kurikuler selama 3 jam saja, eskulnya terdiri dari beberapa pilihan antara lain karate, tahfidz, dan pidato. Naylah sendiri saya pilihkan eskul tahfidz, supaya kelak jika lulus di SDIT dia bisa hapal minimal 3 juz Al Quran. Aminnnn *aminkan yang kencang ya.

Karena hanya 5 hari sekolah, saya bisa punya 2 hari berkualitas bersama Naylah di rumah.

Sepertinya membahas postingan tentang SDIT tempat Naylah belajar akan panjang jika dibahas semua, mungkin akan saya tulis di blog post yang lain.

Tapi intinya begitu, saya setuju dengan tanggapan ibu Menteri Sosial Khofifa Indar Parawansa bahwa wacana full day school  diterapkan sebagai program nasional harus melihat kesiapan dan daya dukung sekolah.  Jadi dilihat sekolahnya dulu. Apakah fasilitas sekolah sudah siap, terutama lingkungannya harus ramah siswa; tersedia cukup guru untuk mengawasi kegiatan anak-anak, no bullying, pelajaran ditransfer dengan tidak membosankan, PR diminimalkan, dan yang terpenting pendidikan karakter dan akhlak yang diutamakan.

Saat itulah sekolah layak menerapkan full day school.

Bagaimana pendapat teman-teman?

22 komentar:

  1. Betul... Anak-anak saya semua produk SDIT. KAlau model sekolahnya begini, oke saja jika full-day. MAsalahnya, jika semua sekolah (termasuk sekolah negeri) kudu full-day, sanggupkah pengajarnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo anak di SDIT hati emaknya tenang, apalagi kl yang ngajar teman2 yg sdh dikenal akhlaknya baik ya mak

      Hapus
  2. Memang beda ya aturan sekolah yang benar-benar full day school dan sekolah umum bukan full day school. Sekolah yang sehari penuh dibuat selayaknya anak-anak nyaman, sekolah tanpa merasakan anak sedang bersekolah, dan gurunya lebih pengertian. Guru masih memikirkan kapan waktu anak istirahat, kapan mereka tidur siang, sengaja tidak dikasih PR. Sekolah seperti ini yang saya dambakan sejak dulu, pastinya lebih mahal dong bayarnya ya Mak huehehe..

    Dari sekian kalimat saya menggaris bawahi ini: Murid yang diberi bintang bukan yang mampu menjawab dengan benar, tapi mereka yang berani mengajukan diri untuk menjawab

    Suka bangeett, paling tidak murid berani mengacungkan tangan meski jawabannya belum benar. Ah, andai semua sekolah berlakukan seperti itu. Untuk Naylah selamat ya Nak kamu sudah nurut perintah Bunda. Ayo kejar bintang setinggi-tinngginya.... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sy senangnya juga krn itu mak..soalnya Naylah anaknya pemalu. Kadang jawaban dia tahu, tapi malu menjawab.

      Hapus
  3. full day school emang jadi pro kontra ya..mak.., sempat nulis juga di blog sebelum dibatalkan..he2. Full day scholl belum bisa diterapkan sekala nasional..menurut saya lebih baik di serahkan ke ortumasing2,kalau mau full day school.. sekolah islam terpadu saja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang banyak yang harus dipertimbangkan ya mba sebelum wacana ini direalisasikan

      Hapus
  4. Iya, sepertinya memang berat ya Mak kalo disamarstakan secara nasional, semua harus full day school. Tergantung kesiapan sekolahnya. Terutama masalah biaya, nih... hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh benar, biaya FDS itu mahal mak. Untung di sekolah Nay masih relatif murah. Kalo di kota besar macam Makassar, aduh angkat tangan sy mak

      Hapus
  5. Hmm, full day school ya? entahlah...
    kalo saya sendiri, bagaimana pun pendidikan yang sebenarnya dilakukan oleh orang tuanya sebagai bagian dari keluarga inti yang perannya sangat penting untuk pendidikan karakter.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mak..madrasah utama anak ya di rumah

      Hapus
  6. anak2ku sekarang bs dibilang sekolah di full day school semacam SDIT juga mba...
    aku prefer nodel ini krn aku ga bs temenin mrk di rumah. klo di rumah tanpa pengawalan dan pendampingan takutnya malah kebanyakan nonton TV lagi.
    asalnya gak penuh dengan materi akademik, ada mainnya, ada kegiatan exschool, plus kegiatan keagamaan. Nah asal gak dibebani banyak PR juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kl ibunya kerja sih sepertinya mmg cocok FDS ini ya, tp itu tadi kl masuk disekolah yg tepat

      Hapus
  7. Beberapa teman saya juga cerita kayak gini nih Mbak, ttg anaknya yg sekolah di SDIT yang menerapkan full day school. Dengar cerita dan lihat keseruan mereka rasanya pengen juga nanti anak saya sekolah di tempat spt itu. Klo di Kendari sini udh ada beberapa sekolah SDIT dibuka. Anak2pun happy dengan sekolahnya itu. :)

    Ayooo Naylah, semangat sekolah yah. Naylah pasti bakalan dapat lbh banyak bintang lagi ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin..semoga Naylah tambah bagus akhlaknya, dapat bintang yang buanyak

      Hapus
  8. nah, setuju dengan postingan ini. Saya pun tidak menolak keras. Tapi memang kalau melempar wacana FDS harus jelaskan secara detil jangan sekadar durasi. Kalau FDS tapi pulangs ekolah maish mikirin PR yang numpuk sih saya akan menolak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba..anak kapan mainnya ya :)

      Hapus
  9. Saya juga gak menolak keras yang penting sebelum diterapkan perbaiki dulu lha fasilitas, kurikulum dan sejahterahkan gurunya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu. Gaji gurunya juga harus sepadan.

      Hapus
  10. Sudah meng-aamiin-kan dengan kencang, udah boleh komentar dong? Hehe

    Saya juga meerasa banyak hal yang perlu kita perhatikan sebelum menerapkan FDS, not a bad idea.. (contoh suksesnya SDIT tempat Naylah sekolah) tapi ide pak Menteri itu sudah didukung dengan penunjang yang mumpuni atau belum, masih harus banyak berbenah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah2an pengambil keputusan mempertimbangkan matang2 ya

      Hapus
  11. kalo ingat masa-masa sekolah dulu rasanya memang berat banget yah Mba, dikasih PR menumpuk, ugggh sungguh bikin stres :(

    BalasHapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis