Pages

24 Jan 2016

Biarkan Anak Kita Berkreasi

Biarkan-anak-kita-berkreasi
 
Biarkan Anak Kita Berkreasi. Tubuhnya agak berisi, wajahnya bulat. Anak ini duduk kalem di depan meja kecilnya, di samping Naylah. Peralatan mewarnainya sungguh mengesankan, jumlah crayonnya 4 kali lipat dari punya Naylah, tempatnya saja besar, sebuah koper kecil transparan penuh crayon dengan banyak turunan warna. Tak hanya itu, di tempat crayon tersebut terdapat beberapa batang cotton bud dan sebuah kuas kosmetik berukuran agak besar. Awalnya saya masih menerka-nerka gunanya apa, rupanya kuas itu untuk membersihkan serbuk crayon saat mewarnai, sementara cotton bud untuk meratakan hasil olesan crayon yang terlalu tebal. Saya sungguh terkesan. Ibunya hebat nian, sigap menyediakan peralatan tempur yang terpikirkan saja, tidak pernah olehku. Jangankan sekoper crayon begitu, sekotak crayon berisi 12 batang yang dibawa Naylah, baru saja saya beli di perjalanan menuju lokasi lomba tadi (tak layak tiru yang ini hehehe).
 
Panitia berseru “ Ibu-ibu tolong agak jauh dari anaknya ya, biarkan anaknya berkreasi”
 
Memang beberapa menyingkir, tapi ibu si anak yang perlengkapan mewarnainya komplit ini, tetap duduk manis dekat anaknya, beberapa ibu lain juga berlaku serupa.
 
Saya memutuskan berkeliling, melihat-lihat perbedaan anak laki-laki dan anak perempuan takkala mewarnai. Anak laki-laki mewarnai gedung dengan warna-warna kalem seperti abu-abu, cokelat, sementara anak perempuan mewarnainya lebih cerah.
 
Setelah itu balik lagi mengecek Naylah, melempar senyum setiap kali dia mencari-cari mamanya. Saat itu, saya melihat kembali anak yang perlengkapan mewarnainya lengkap itu. Dia baru saja selesai mewarnai jalanan dengan warna cokelat yang sempurna. Mulus, tanpa cela. Cara mewarnainya begitu halus, tidak ada yang mencong-mencong, saya yakin dia mewarnainya dengan menggosok crayonnya searah.
 
Saya masih betah melihat dia mewarnai ketika sadar dia sangat bergantung pada ibunya. Ternyata warna-warna yang anak ini pakai semua dipilihkan oleh ibunya. Bahkan ketika ibunya berkata merah untuk warna mobil, dia masih bertanya warna merah mana yang harus dia pilih, maklum warna merah di koper crayonnya ada beberapa. Begitu seterusnya, anak ini tidak melewatkan satupun gambar di kertas tanpa meminta tanggapan ibunya; ban mobil, batang pohon, daunnya, gedung-gedung, sampai gambar paling kecil pun warnanya dipilihkan oleh si ibu.
 
Inilah kira-kira salah satu contoh nyata terpampang di depan mata, bukan fatamorgana… Si ibu sedang mendidik anaknya menjadi seorang passenger, bukan driver. Seorang yang bermental passenger adalah seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri.
 
Sungguh disayangkan, padahal anaknya sudah demikian telaten, dengan sabar mewarnai setiap bagian dengan begitu rapi dan halus. Tapi dengan semena-mena dilenyapkan kreatifitasnya oleh si ibu. Padahal seandainya dia dibiarkan memutuskan sendiri warna yang dia inginkan, bisa jadi warnanya akan lebih indah.
 
Anak-anak memiliki daya imajinasi yang tinggi, mereka bahkan kadang memiliki alasan yang tidak terpikirkan oleh kita orang dewasa ketika memutuskan sesuatu. Anak yang punya koper crayon tadi tidak sendiri, banyak orang tua bertingkah serupa dengan ibunya, meneriaki dari pinggir arena apa yang harus dilakukan anaknya.
 
Ibu berkata “langit tidak hitam, tapi biru”
 
Menurut anak langit hitam karena mendung
 
“pohon warna hijau, bukan cokelat”
 
Menurut anak, daunnya hampir meranggas
 
“jalanannya dulu diwarnai”
 
Menurut anak, gedungnya dulu yang lebih mudah
 
Kita tidak pernah tahu ide brilian apa di kepala mereka, kenapa harus dikacaukan.
 
Anak hanya ingin bersenang-senang, tapi ibunya ingin menang. Walhasil, anak yang harus bekerja keras menyelesaikan kertas dengan full warna menjadi tersiksa dan frustasi.
 
Ayolah, biarkan mereka berkreasi, kalah menang itu hanya tropi dan bungkusan hadiah yang besar, yang kemungkinan besar bisa kok kita beli sendiri. Tapi merusak kemampuan anak mengambil keputusan sendiri adalah harga yang sangat mahal, yang akan anak-anak bawa sampai dewasa, bahkan sampai tua. Sungguh tak sepadan kan?
 
Sempat seorang ibu membisiki untuk membantu Naylah merapikan warna langitnya yang kurang rapi, padahal gedungnya sudah lumayan cantik.
 
Saya menggeleng tersenyum…. ah kami cuma bersenang-senang kok.
 
Parepare, 24 01 2016
Nur Islah

18 Jan 2016

After 12 Days


Sumber Gambar: Flickr

Mirip judul film ya :-)

Kali ini saya tidak sedang menulis review film, tapi tulisan galau.

Jadi selama hampir 2 minggu, saya dan keluarga, beserta tetangga yang cuma ada 4 biji itu ketimpa kemalangan, rumah kami tidak dialiri air. Bayangkan, kebutuhan vital yang gratis dari Tuhan itu tidak mengalir di rumah kami. Padahal tahu sendiri kan pentingnya air, mau wudhu pakai air, mau masak pakai air, mau pipis, buang air besar, cuci pakaian, semuanya pakai air. Saking pentingnya air itu, ada yang bilang “lebih baik listrik mati daripada air tidak mengalir”. Saya pun setuju pendapat itu, listrik mati memang agak merepotkan, tapi saya masih masak pakai kompor gas, bukan listrik, jadi orang serumah tidak akan mati kelaparan. HP dan laptop tidak tercharge? Tidak nonton TV? Tidak pakai AC? tidak akan membuat saya tergeletak terkapar tanpa benda-benda itu. Tapi AIR? Kita akan lumpuh total tanpa air. Menulis ini jadi sadar sendiri betapa baiknya Allah, menyediakan air buat hambaNya, gratis.

Lanjut ya…
Entah intrik apa yang terjadi di tubuh PDAM, banyak desas-desus yang wallahuallam benar tidaknya muncul, kabarnya ada masalah politik internal yang membuat mogok karyawan PDAM, akibatnya orang-orang lapangan tidak mau mengatur air. Ada juga yang bilang penyebabnya karena pompa ada yang rusak, ada yang bilang petugas yang mengatur air sedang sakit, dan alasan-alasan lain yang sumbernya tidak jelas (PDAM sih tidak mau konfrensi pers, jadi beritanya sumpang siur). Yang pasti apapun alasannya, yang saya pahami cuma satu, air yang saya butuhkan di rumah tak ada walau setitik.

Trus, bagaimana cara kami bertahan?

Manusia, dihadapkan pada kondisi apapun pasti fleksibel menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan keadaan minus air begini, saya tiap pagi menemani suami mengangkut 100 liter air. Sambil ambil air, tidak lupa saya membawa sebaskom pakaian kotor untuk dicuci sekalian. Jadi, pagi-pagi setelah sholat subuh, Naylah dengan mata setengah terpejam saya ajak mandi di kantor, kalau bukan di kantorku ya di kantor Pap Nay, banyakan sih di kantor Pap Nay, soalnya dekat. Sekalian kami isi air, mencuci, dan mandi. Jadi sekali pergi dua tiga hal beres. Pulang, sisa pakai seragam dan berangkat kerja.

Pap Nay sering kesal dengan keadaan ini, soalnya memang tugas dia yang paling berat, mulai dari mengisi jerigen, mengangkatnya ke mobil, mengangkatnya lagi masuk ke rumah, lalu menuang ke bak. Bukan pekerjaan yang ringan kan? Untungnya suami saya super hero; berkulit terpal, bertulang besi, ber-urat kawat.

Pap Nay selalu melaporkan ke bagian  pengaduan PDAM, baik melalui sms, telepon, maupun datang langsung ke kantornya. Menurut Pap Nay dan tetangga sekitar rumah yang sudah bolak-balik ke kantor PDAM, orang yang bertugas di sana sepertinya sudah pasrah saja dengan ratusan komplain masuk setiap hari, petugas terlihat mati rasa dan acuh tak acuh menanggapi keluhan mereka. Jadi sepulang dari sana, hati masih nelangsa, tidak tahu sampai kapan harus ngangkut air. Mama Mirza sampai bilang begini ke petugasnya “ jadi pak, kalo pompanya rusak, apa ditunggu saja dia baik sendiri gitu?”, habis dia cerita begitu, kami ngikik berjamaah, geli dengan kemalangan sendiri.

Hari-hari berlalu, masih dengan tanpa air jatah PDAM. Kombinasi tangan pegal dan badan lelah, ditambah dengan resahnya jiwa menunggu tanpa kepastian, akhirnya kami pasrah sepasrah-pasrahnya menghadapi keadaan kering kerontang ini. Saya mulai menganggap angkut air adalah rutinitas, mencuci di kamar mandi kantor jadi biasa, Naylah bahkan sudah menikmati berkeliling di halaman kantor, manjat-mantat sambil menunggu giliran dia mandi.

Sampai tibalah di hari ke 12…

ngessss..ngesss...

Saya lagi santai dengan suami dan anak-anak sambil nonton TV di kamar.

“Pa, bunyi apa itu?”

“Ndak salah? Air ngalir?”

“Alhamdulillah”

Sampai kami pun hampir tidak percaya air akhirnya mengalir.

Alhamdulillah sekali lagi.

Air mengalir kencang sekali. Pap Nay mencuci mobil dan motornya, mengisi bak-bak mandi, tandon, ember-ember, semuanya diisi penuh (jaga-jaga siapa tau tidak dapat jatah air selama 2 minggu lagi). Kamar mandi, wastafel yang mulai menguning  saya sikat, minyak-minyak melekat di kompor dibersihkan, sampai kulkas pun saya bongkar buat dicuci. Semua yang tak bisa saya cuci dengan mengucek di hari-hari lalu, saya kumpulkan; handuk-handuk, selimut, seprai, jeans, mukena saya masukkan di mesin cuci.

Setelahnya…ya CAPEK :D

Tapi senang, akhirnya setelah 12 hari…kami bisa mandi dengan tenang, tanpa risih kantor keburu ramai, tanpa berpikir harus angkut air lagi di hari itu.

Alhamdulillah. Pada hari ke 12 itu, air mengalir dari pagi sampai keesokan harinya. Tapi menjelang siang, giliran kami di stop, tentu saja untuk memberi kompleks lain giliran. Mudah-mudahan, giliran kami selanjutnya tidak perlu menunggu 12 hari lagi.

Harapan saya, apapun masalah yang terjadi di PDAM Parepare, kami doakan cepat kelar, cepat terselesaikan, tidak ada lagi kejadian air tidak mengalir di musim hujan begini. Amin
Air di rumah kamu bagaimana?

Parepare, 18 01 2016
Nur Islah

16 Jan 2016

Filosofi 5 Jari Mendidik Anak

Filosofi-5-jari-mendidik-anak

“Anak-anak tidak membutuhkan orang tua yang pintar, tapi membutuhkan orang tua yang siap menerima keadaan mereka dan mau terus belajar”
 
Jumat, 16 Januari 2016, Yayasan SDIT Bina Insan Parepare menggelar acara seminar parenting yang bertajuk “ Membangun Komunikasi Positif Antara Anak dan Orang Tua”. Materi dibawakan oleh Bimansyah Al Harisi. Ustad yang lahir 33 tahun silam ini merupakan seorang trainer yang sering mengisi acara seminar parenting, beliau juga berprofesi sebagai kepala sekolah di salah satu SDIT di Kalimantan Timur.
 
Ustad Bima. Demikian panggilan akrab beliau, membawakan materi dengan menarik dan interaktif, beliau sering mengundang gelak tawa peserta dengan memberikan contoh-contoh yang terasa konyol tapi memang sering dilakukan oleh para orang tua. Lihat saja cerita tentang seorang anak yang diberikan uang Rp.5000 oleh Eyangnya. Si anak bukannya berterima kasih tapi malah berkata “Kok cuma segini?” Setelah diusut, ternyata sang anak sering mendengar ibunya berkata serupa setiap akhir bulan, saat suami memberikan uang belanja.
 
Masih banyak cerita-cerita lain yang lebih kocak, membuat seminar yang berlangsung dari ba’da Durur sampai azar tidak terasa panjang dan membosankan.


filosofi-5-Jari-mendidik-anak
Bimansyah Al Harisi (dok pribadi)
 
 
 
Satu hal yang perlu saya catat dari pemaparan Bimansyah Al Harisi kali ini adalah konsep mendidik anak menggunakan filosofi 5 jari. Saya kira perumpamaan 5 jari yang menggambarkan 5 aspek penting mendidik anak ini cukup efektif, hanya dengan melihat jari tangan sendiri, poin-poin itu bisa dihapal luar kepala.
 
Jempol (Keteladanan)
 
Anak-anak mungkin gagal mendengar perintah orang tuanya, tapi mereka akan sangat berhasil meniru tindakan ayah-ibu mereka. Untuk itu, mereka memerlukan teladan yang baik dari orang tua dan gurunya. Di rumah, anak-anak membutuhkan ibu-bapak yang selalu mencontohkan terlebih sebelum memerintahkan, dan di sekolah, mereka membutuhkan guru-guru yang kompeten, yang tindak-tanduknya memang patut digugu.
 
Anak-anak akan meniru segala hal dari tingkah laku orang terdekatnya; cara marah, cara menyampaikan pendapat, cara berbicara, dll. Sehingga benarlah kata pepatah “ buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, adab kebiasaan anak tak akan jauh dari adab kebiasaan orang tuanya.
 
Jari Telunjuk (Pembiasaan)
 
Ustad Bima memberikan contoh soal pembiasaan ini. Sering mengalami kejadian ini? anak pulang sekolah, meletakkan baju dan sepatunya sembarang tempat. Padahal Ibu sudah mengajari sang anak untuk menyimpan segala sesuatu pada tempatnya, tapi anak selalu saja lupa, dan membiarkan barang-barangnya tergeletak begitu saja.
 
Rupanya pada saat kita mengalami pengalaman begini, orang tua seharusnya tidak boleh berputus asa mengulang-ulang menuntun anak menyimpan barang pada tempatnya. Jika pada 3 hari pertama masih belum berhasil, ulangi lagi pada hari-hari selanjutnya, tuntun anak-anak, tunjukkan caranya, dan jangan putus asa, apalagi sampai memarahi dan menghukum anak kita. Suatu saat kesabaran membiasakan hal baik itu akan berbuah, anak-anak akan terbiasa, dan berhasil melakukannya tanpa diingatkan.
 
Benar juga sih, kadangkala kita kurang bisa bersabar, ingin melihat hasil secara instan. Baru juga memberi contoh beberapa hari, kita sudah merasa putus asa, dan akhirnya menyerah. Akibatnya anak kembali kepada kebiasaan buruknya.
 
 
Jari Tengah (Perhatian)
 
Sesuai dengan bentuk jari tengah yang paling tinggi di antara semua jari, seperti itulah seharusnya porsi “perhatian” kepada anak. Anak-anak yang kurang mendapatkan kasih saying dari orang tuanya, tidak akan nyaman berada di rumah. Mereka akan merasa lebih nyaman berada di luar rumah, di mana mereka mendapatkan perhatian dari teman-temannya. Padahal kita tahu sendiri, lingkungan di luar sana seperti apa, bisa jadi anak kita akan terjerumus dalam pergaulan yang salah.
 
Jari manis (Nasihat)
 
Sesuai namanya “Jari manis”, nasihat senantiasa perlu diberikan kepada anak dengan manis, tanpa amarah, mudah dimengerti, dan jelas.
 
Jari Kelingking (Hukuman)
 
Seperti halnya jari kelingking yang paling kecil, porsi pemberian hukuman haruslah kecil. Fokus pada hal-hal positif yang berhasil dicapai anak dan memberikan mereka penghargaan, jauh lebih baik daripada fokus kepada kesalahan mereka dan memberikannya hukuman.
 
Demikianlah 5 filosofi yang harus diperhatikan ketika mendidik anak. Dengan dukungan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang positif, insya Allah anak-anak kita akan tumbuh menjadi generasi yang kuat, generasi yang baik, baik agama, akhlak, dan budi pekerti.
 
Semoga bermanfaat.
 
Parepare, 16 01 2016
Nur Islah

5 Jan 2016

Melihat Ikan di Masjid Andi Djuanna

Melihat-Ikan-di-Masjid-Andi-Djuanna

Sudah tidak terhitung berapa kali perjalanan berulang melewati masjid ini, sebab lokasinya memang terletak di jalan poros provinsi. Jika saya berkendara pulang balik dari/ke ibukota provinsi Sulsel pasti melintasi lokasi di mana masjid Andi Djuanna berdiri. Walaupun begitu, saya baru tahu tentang masjid unik ini setelah membaca artikel seorang blogger yang dishare di grup komunitas Anging Mamiri. Sejak itu, setiap melewati kabupaten Barru, saya selalu berharap bisa sholat di Masjid Andi Djuanna. Sayang, di berbagai kesempatan, niat itu selalu tidak kesampaian, kalau bukan karena memang saat melewatinya sedang tidak harus sholat, kami bepergian di malam hari, atau saat itu masjid telah luput dari pandangan.

Ahad, tgl 27 Desember 2015 kemarin, saat perjalanan pulang dari Makassar ke Parepare, akhirnya kesampaian juga niat untuk sholat di Masjid Andi Djuanna. Mencari masjid Andi Djuanna cukup mudah, selain bangunannya yang memang mencolok, masjid terlihat mengapung di atas air, Pap Nay juga sudah memiliki gambaran lokasinya.


Melihat-Ikan-di-Masjid-Andi-Djuanna
Foto Masjid setelah agak sepi
Saat kami tiba, sudah banyak rombongan keluarga di sana. Laki-laki, perempuan, tua, dewasa, dan anak-anak tampak bergerombol di masjid, ada yang sholat, ada yang duduk santai sembari memperhatikan ikan-ikan di kolam.

Kakak dan Adek Ayyan bagaimana? Seperti biasa, dua bersaudara ini lincah luar biasa melihat pemandangan di depan mata. Adek berteriak kencang “ ikan..ikan..air..air!”. Kakak Naylah berlari menyusul di belakangnya. Mereka berlarian mengitari teras masjid, berlari, duduk, lari, kemudian duduk lagi sekali-sekali untuk memperhatikan ikan. Karena berbahayanya meninggalkan mereka tanpa pengawasan, saya dan Pap Nay bergantian sholat dhuhur. Salah satu dari kami harus mengekori dua bocah yang sedang semangat-semangatnya dengan suasana baru.

Ikan air tawar di kolam masjid Andi Djuanna lumayan banyak, sebuah sumber mengatakan jumlahnya bisa sampai ribuan. Isi kolam adalah ikan Mas dan Mujair. Oh ya, pengunjung bisa memberi makan ikan-ikan tersebut dengan membeli pakan ikan seharga 1000 rupiah perbungkus. Tentu saja, saya juga tidak mau ketinggalan membeli 2 bungkus pakan untuk anak-anak. Ikan akan bergerombol menyambut lemparan makanan dari Kakak Nay dan Adek Ayyan, dan…. Lagi-lagi mereka heboh melihat ikan bertambah banyak bermunculan di hadapan mereka. Saat pemberian makan ikan inilah, mereka bisa duduk dengan tenang sebentar..(lap keringat).

Melihat-Ikan-di-Masjid-Andi-Djuanna
Mesjid Andi Djuanna adalah salah satu masjid berkonsep unik, menggabungkan konsep wisata dan religi pada satu tempat. Para musafir yang melakukan perjalanan panjang melewati jalan poros Parepare-Makassar bisa singgah melakukan kewajiban sholat sekaligus melepas penat. Jika para pengunjung ingin mengisi kampung tengah, tidak perlu jauh-jauh mencari tempat makan, di dekat masjid juga terdapat warung makan.

Dua jempol buat masjid ini. Walaupun banyak dikunjungi oleh pendatang, masjid tetap terlihat bersih. Tidak ada sampah berceceran di teras masjid. Mungkin karena begitu banyaknya tulisan peringatan untuk tidak membuang sampah sembarangan dipajang di dinding masjid, ditambah lagi dengan memang banyak tempat sampah yang disediakan di situ.

Melihat-Ikan-di-Masjid-Andi-Djuanna
Meskipun berhalaman luas dan dari kejauhan tampak besar, kapasitas masjid sebenarnya tidak begitu banyak. Sepertinya hanya sanggup menampung puluhan jamaah. Tapi suasana masjid yang asri, dengan arsitektur bangunan unik, ditambah ribuan ikan yang menyambut datangnya para pengunjung, membuat masjid ini selalu ramai, khususnya di waktu-waktu sholat.

Melihat-Ikan-di-Masjid-Andi-Djuanna
Ikannya pernah sebanyak ini (sumber)


Rasanya saya betah berlama-lama di masjid ini. Tapi sayang, karena niatnya memang hanya untuk singgah rehat sejenak dan sholat, kami kemudian meninggalkan masjid Andi Djuanna.

Lokasi : Masjid Andi Djuanna, Jalan Poros Parepare-Makassar, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulsel

2 Jan 2016

Jalan-jalan di Hutan Jompie

Hutan-Jompie-Parepare


Naylah dan Adek Ayyan ingin segera nyebur di kolam ketika kami baru saja tiba di kawasan hutan Jompie. Memang, ketika memasuki kawasan hutan Jompie, kita langsung menginjakkan kaki di pinggiran kolam permandian. Kolamnya luas dan agaknya cukup dalam, karena dua orang remaja laki-laki kompak melompat sambil salto, tanpa ragu sedikitpun terbentur ubin di dasar kolam. Di tempat ini terdapat dua kolam, sebuah kolam berukuran besar, dan satu lagi berukuran kecil. Kolam utama untuk orang dewasa, kolam kecil untuk anak-anak. Kolam besarnya tampak kehijauan karena dipenuhi lumut, mungkin jarang dikuras.
Hutan-Jompie-Parepare
Kolam renang di kawasan hutan Jompie

Kami segera memasuki hutan sesuai dengan rencana awal, mengabaikan rengekan protes dari anak-anak yang ingin segera masuk ke kolam. Naylah yang sejak dari rumah sudah penasaran dengan penampakan hutan, segera melupakan protesnya. Begitu pula dengan Adik Ayyan, mereka berdua larut dengan suasana baru yang serba hijau dan sejuk. 
Hutan-Jompie-Parepare
Emaknya ditinggal :-(

Kami menelusuri jalan setapak yang sengaja dibuat di hutan Jompie. Hutan ini pernah dinobatkan sebagai hutan kota terbaik keenam seluruh Indonesia lho, menduduki peringkat pertama hutan kota terbaik Sulawesi Selatan. Cukup luas. Rupanya, jalan setapak dibuat beberapa cabang, supaya pengunjung leluasa menelisik hutan di berbagai lokasi. Kami menjelajahi hutan dimulai dari kolam renang dan tiba di tempat yang sama tapi melewati jalan yang berbeda. Jadi boleh dikata saya, Pap Nay, dan duo bocil sudah memutari hutan ini. Lumayan, membakar kalori hasil timbunan Mie Titi kemarin malam :p 

Pohon-pohon berbatang besar dan beranting banyak tak terhitung jumlahnya di hutan Jompie, bahkan kabarnya ada beberapa pohon yang usianya sudah ratusan tahun. Beberapa pohon dilengkapi dengan nama latinnya untuk dipelajari para pelajar dan peneliti. Keanekaragaman hayati di hutan ini membuat pemerintah setempat berencana akan mengoptimalkan penggunaannya sebagai pusat penelitian. 
Hutan-Jompie-Parepare


Anak-anak terlihat senang, mulut mereka tidak berhenti nyerocos sepanjang jalan. Beberapa makhluk hidup seperti kaki seribu, kadal dan kupu-kupu sering kami jumpai di tengah penjalanan. Memang hutan ini minim satwa, tidak ada rusa atau kera seperti hutan dibayangan Naylah. Makhluk hidup yang paling banyak hanyalah nyamuk, mereka mengikuti kami sepanjang jalan. 
Hutan-Jompie-Parepare
Hutan-Jompie-Parepare
hewan ini juga banyak di sekitar rumah xixixi

Setelah melewati pendakian, dan melewati jalan datar setelahnya, kami menemukan tempat yang cocok untuk ngaso. Naylah yang mulai rewel karena terlalu jauh berjalan, akhirnya lega bisa menikmati bekal.
Hutan-Jompie-Parepare
Menikmati bekal
Hutan-Jompie-Parepare


Berjalan-jalan di hutan adalah kegiatan yang langka, apalagi yang hidup di kota . Berapa banyak anak Indonesia yang pernah melihat hutan? Saya, yang lahir dan besar di desa saja bahkan tidak pernah melihat hutan. Saya cuma akrab dengan kebun yang isinya kakao, pohon kelapa dan pisang. Tapi hutan? saya melihatnya setelah masa kecil terlewati. Hutan kota seperti hutan Jompie adalah objek wisata yang berpotensi besar. Selain menjadi sumber oksigen bagi penghuni kota, juga sebagai objek edukasi untuk anak-anak. Sungguh sayang karena kondisinya sekarang tampak terabaikan. 

Ingin jalan-jalan ke hutan Jompie? Lokasinya lumayan dekat, terletak di kecamatan Soreang, kota Parepare. Cukup berkendara sekitar kurang lebih 3 km dari pusat kota Parepare, kamu akan menemukan hutan ini. Tidak ada biaya karcis untuk masuk, cukup dengan memberi ongkos parkir yang pantas pada orang yang berjaga di gerbang, kamu sudah bisa menikmati segarnya oksigen gratis dari Tuhan. Jangan lupa, sampah sendiri dibawa pulang ya ^_^

Parepare, 02 01 2016
Nur Islah