Pages

6 Sep 2011

Ketika Wana Pergi

Adik iparku meninggal dunia. Aku tidak terlalu mengenalnya, dalam artian tidak mengenalnya terlalu dalam. Beda usia 5 tahun, cukup membuat kaku percakapan diantara kami. Mungkin dia menganggapku terlalu senior, atau aku yang menganggapnya terlalu yunior, entahlah. Kami bercakap, tapi tidak seintim sahabat karib. Jadi aku mengetahui sifat dan kebiasaannya dari yang tampak saja dan dari cerita kakaknya, suamiku. Dia lumayan sering menjaga anakku. Dia datang menjaga Naylah waktu jatah cuti melahirkanku hampir habis dan aku belum mendapatkan pembantu. Dia juga menjaga Naylah jika aku ke Makassar menghadiri training atau jalan-jalan.

Penampilannya sederhana, layaknya wanita muslimah sejati. Rok, baju dan kerudung panjang yang menutupi aurat hingga dadanya. Ketika beberapa hari menjaga Naylah di rumah, kerudungnya juga tidak pernah lepas, karena ada adik laki-lakiku yang juga tinggal di rumah. Dia menjaga aurat dari adikku.

Terakhir kali melihatnya sekitar sebulan sebelum kematiannya. Almarhumah adik iparku datang ke rumah dengan keluarga yang lain dari suami. Memang dia tampak sakit, kerjanya hanya tidur-tiduran di kamar sementara kami di luar bercanda. Kupikir dia sedang patah hati dan frustasi. Sempat kusampaikan kekhawatiranku kepada suamiku, mungkin adiknya sedang ada masalah.

Kami tidak tahu, kalau 1 tahun belakangan ini dia sering sakit kepala, tak ada keluhan darinya. Beberapa kali ada kabar dia sakit, tapi kami pikir sakit demam biasa. Kadang kusesalkan suamiku yang kurang memaksanya ke dokter ketika dia sering sakit.

Dengan sisa-sisa kekuatannya, adik iparku pulang ke kampung yang berjarak 8 jam perjalanan dengan bus dan angkutan laut, dia tiba di rumah tanpa tanda-tanda akan pergi dan tanpa kata-kata pamit, dia meninggal keesokan harinya.

Kami semua kaget, Ibu mertuaku sampai shock dan sakit. Anak kesayangannya yang baru saja lulus kuliah dan kerja, meninggalkannya di bulan Ramadhan. Lebih sedih dan takjubnya lagi. Alangkah banyak pelayat yang datang dan mendoakan, rumah kami yang sederhana sampai penuh sesak oleh teman-temannya, bahkan orang-orang yang tidak kami kenal yang mungkin mengenalnya juga datang.

Menurut cerita keluarga, Adik iparku meninggal dengan sangat tenang, sampai kakak yang memegangnya saat sakratul maut tidak sadar kalau dia sudah meninggal. Dia seperti tertidur. Ketika dibaringkan di rumah dukapun, tidak ada perasaan seram karena kematian. Yang ada rumah penuh dengan cerita tentang kebaikannya.

Isak tangis keluarga kembali pecah, ketika tas adikku dibuka, disitu ada Al Quran kecil yang selalu dia bawa serta. Kami yang ditinggalkan merasa tenang. Dia selalu menutup aurat, tidak meninggalkan sholat, baik kepada sesama, insya Allah dia sudah tenang di sisiNYA.

Sms terakhirnya, kuterima 2 hari sebelum adik iparku meninggal, masih kusimpan difolder khusus HPku, insya Allah akan terus mengingatkanku :

Jika seorang wanita telah sholat 5 waktu, berpuasa bulan Romadhan dan menjaga kemaluannya, serta mentaati suaminya, maka dia masuk surga dari pintu mana yang dia sukai” (H.R. Ibnu Hibban)



1 komentar:

  1. Tidak ada yang paling diharapkan dari akhir kehidupan, melainkan husnul khotimah.. Semoga adik ipar mbak merupakan salah satunya 😭

    BalasHapus

Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis