Pages

23 Agu 2017

Ketika Handphone Membuang Waktumu

Ketika Handphone Membuang Waktumu

Islah, seorang ibu dua anak, mengeluhkan waktu yang sangat kurang. Dia merasa pagi baru dimulai kenapa azan magrib begitu cepat terdengar. Sementara pekerjaannya belum rampung semua. Ada pakaian bertumpuk belum dicuci, sementara jemuran kemarin menunggu dilipat. 

Islah memiliki daftar yang panjang rencana pekerjaan yang akan dia selesaikan hari itu, dia sudah berencana melakukannya satu per satu nanti. Mengapa ketika hari menjelang malam, hanya setengah dari daftar pekerjaannya yang berkurang.

Islah mengevaluasi diri, apa yang salah dengannya hari ini? 

Tadi pagi, anak pertamanya sudah berangkat sekolah. Seharusnya saat itu adalah jadwal menyapu. Tapi dia memutuskan mengambil HP, menjawab chat yang masuk. Ada percakapan menarik di grup whatsapp yang dia ikuti. Dia baru sadar, jam sudah menunjukkan pukul 9 ketika memutuskan menyimpan gadgetnya. 

Baru juga dia akan beranjak dari kursi, tiba-tiba anak kedua bangun. sudah menjadi kebiasaan ketika bocah laki-laki berusia 4 tahun itu bangun, dia akan bermanja-manja pada ibunya. Sembari meminum susu, dia akan berada di pangkuan ibunya sekitar 10-15 menit. Di saat itu, plan kerja sudah kacau, Islah sudah lupa dengan jadwal yang sudah disusunnya semalam, dan mulai mengabaikannya.

Islah mulai menyapu halaman. Selesai satu. Tapi dapur masih berantakan, bekas minyak masih banyak menempel di kompor. Tadi adiknya membuat sarapan menu telur ceplok, percikannya menyebar sampai di lantai. 

HP berbunyi, nada pesan masuk terdengar berulang. Ah, mungkin itu pesan dari calon pembeli, karena Islah seorang ibu yang juga berbisnis dari rumah, mengabaikan bunyi chat masuk bisa menghilangkan potensi rezeki. Detik ini dia sudah lupa kalau dia akan membereskan dapur.

Benar saja, seorang teman bertanya-tanya tentang bisnisnya. Islah menjelaskan apa yang ditanyakan teman dan tak lupa menawari ikut seminar untuk lebih paham. Sebenarnya percakapan online dengan teman ini hanya berlangsung 5-10 menit, tapi Islah tidak menyimpan HP setelahnya, melainkan tergoda membuka facebook. 

Beranda facebook dipenuhi cerita lucu percakapan Aylaview, Islah tidak tahan untuk tidak komentar atau sekedar memberi jempol pada status yang memang membuatnya tertawa. Aktivitas ini tidak terasa membuang banyak waktunya, hari sudah menjelang siang.

 ***

Yang saya tulis di atas itu nyata, terjadi pada tokoh Islah memakai nama saya sendiri. Mungkin saya tidak sendiri, banyak ibu-ibu lain yang mengalami hal serupa. 

Ada beberapa penghambat mengapa produktivitas menjadi sangat berkurang. Seperti tidak menyusun daftar pekerjaan dan melakukannya berdasarkan tingkat prioritas, tidak mendelegasikan yang bisa didelegasikan, dan sebagainya. 

Tapi sebenarnya penyebab utama adalah kita terlalu banyak bermedia sosial. Padahal jika dihitung-hitung, banyaknya waktu yang terbuang dengan aktivitas ini tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Malah, saya pribadi merasa telah kelebihan informasi. Otak saya bekerja lebih keras, berusaha memilah dan menyaring berita. 

Sebut saja contoh, cerita seorang istri yang baru saja kehilangan suaminya yang kanker mulut. Pada awalnya suami mengeluhkan sariawan yang tak kunjung sembuh, dan akhirnya ketahuan sakit setelah kanker yang dia derita sudah mencapai stadium akhir. Cerita sedih ini viral dalam hitungan jam di fesbuk. 

Sedikit banyak ini mempegaruhi pikiran, tadinya saya tidak mengkhawatirkan sariawan yang saya derita sejak dua pekan lalu, akibat berita viral ini saya tiba-tiba menjadi sangat khawatir. 

Itu hanya salah satu contoh saja. Jika dihitung-hitung aktivitas bermedia sosial memakan banyak sekali waktu tanpa kita sadari. Riset yang dilakukan oleh Vserv, rata-rata penggunaan smartphone di Indonesia menghabiskan waktu 129 menit per hari. Bayangkan 2 jam 15 menit! Kalau dipergunakan maksimal, waktu segitu lebih dari cukup untuk membersihkan satu rumah sampai kinclong. 

Jumlah 129 menit itu hasil risetnya, kenyataannya kita mengeloni smartphone jauh lebih lama dari itu. 

Saya pernah meng-upload di instagram @pulau_ila tentang bagaimana anak kedua saya sampai menanyakan sesuatu yang sangat menusuk. Begini percakapannya; 

Rayyan : "Mama sayang HP?"
Mama   : "Tidak"
Rayyan : " Kenapa Mama selalu pegang HP?"

Duh, detik itu handphone langsung saya singkirkan, menyimpannya di atas lemari. 

Untungnya saya segera menyadari kekeliruan ini. Saya mulai mengatur waktu kapan boleh menyentuh handphone, kapan menyimpannya. Jika ingin berselancar di dunia maya, saya mulai membatasi diri dengan cara melihat jam sebelum bermedsos supaya tidak lagi kebablasan. 

Bagaimana dengan kalian, moms? Share ya cara kalian mengatur jadwal bermedsos di kolom komentar.

Artikel ini untuk menanggapi tulisan Mak Irna Octaviana Latif di sini

16 Agu 2017

Boston


Boston. Sulit untuk tidak menyimpan nama dia dalam pikiran atau hatimu, walaupun baru pertama kali bertemu. 

Perawakan besar cenderung bulat. Kepala botak, bibir tebal yang selalu berbentuk bulan sabit. Wajahnya selalu terlihat tersenyum. 

Kalau baru ketemu, tanganmu akan dijabat erat. Siapapun kamu, entah kamu memang suka lawakan atau tipe pendiam, kamu akan tetap mendengar joke keluar dari mulutnya. Dia tidak akan peduli lucu atau tidak, tapi biasanya yang mendengar akan tergelak. Bisa jadi bukan karena banyolannya, tapi mimik dan tingkah laku Boston memang mengundang tawa.


Dia adalah penghibur terbaik yang pernah saya kenal. 

Kadangkala, jika kami berjumpa dengan kenalan baru, dia melontarkan kalimat-kalimat lucu. Biasanya bukan kawan baru itu yang heboh tertawa tapi saya yang terpingkal-pingkal.

 Umumnya jika berada di kantor, bahan gurauannya adalah saya, pilihan Boston selalu jatuh pada saya.
"Eh, kenapa kalau bilang tua liatnya ke Nuri" katanya sambil tersenyum jail.

Lihatlah, dia menyebutku Nuri, padahal rekan kerja yang lain memanggilku Ila atau Islah. Dia senang menjuluki teman-teman akrabnya dengan nama alias bikinan sendiri. Dan itu sifatnya tidak sementara, tapi selamanya. 

Baca juga contoh obrolan kami di Fun with coffee

Pedda untuk Asrul, Om Sod untuk Yoseph, Bemz untuk Vetri, Emmang untuk Noni. Yang terakhir hanya karena nama lengkap Noni adalah Emma Noni. 

Apakah ada yang marah? 

Mungkin pada awalnya iya. Kenyataannya kami tidak akan pernah sanggup marah lebih dari sehari pada Boston. 

Selama 12 tahun mengenalnya, sekali saya pernah marah. Gara-gara bertanya padanya saat dia sedang sibuk. Tetiba jawabannya ketus, saya ngambek seharian. 

Apa yang dilakukan Boston? 

Dia berkeliaran di sekitarku sepanjang hari, merayu-rayu, bikin lelucon sampai saya mau tertawa lagi. Padahal dia sedang sibuk. Endingnya, kami berbaikan sebelum balik ke rumah. 

Saling meledek kami lakukan hampir tiap ketemu. Dia bilang sesuatu untuk lucu-lucuan, saya menimpalinya. Selalu begitu. Kami terlihat tidak akur tapi selalu tertawa bersama. Hubungan yang aneh ya. 

Walaupun demikian, hampir seluruh masalah saya ceritakan padanya. Di antara semua teman dialah yang paling tahu isi hati dan kepalaku. 

Dia yang mula-mula tahu ketika bapak sakit. Dia yang pertama datang saat saya akan melahirkan karena dialah yang mengantar ke rumah sakit, dia yang tahu pertama saat saya berencana resign, bahkan berbulan-bulan sebelumnya. 

Saya tidak pernah sungkan curhat padanya karena saya tahu hatinya seputih kertas, tak akan dia sebar rahasia di belakang. Saya tahu dia akan menjaga rahasiaku.

Ketika curhat, dia selalu memberi solusi, kadangkala terasa menggurui, kadangkala dia memarahi, kadangkala dia menyalahkan. Tapi saya tetap plong berbicara padanya, karena saya tahu apa yang dikatakannya benar, semua untuk kebaikanku. 

Dia editorku. Draft artikel paling mentah untuk ditayangkan di blog pun sering saya kirim kepadanya. Susah untuk mendapatkan pujian. Dia menyuruh ganti ini itu. 

"feelnya tidak dapat" 
"Kalimatnya lompat-lompat" 

Mungkin dia satu-satunya editor yang tidak bisa menulis, tapi dia pembaca berita online yang bagus. 

Dia teman yang paling senang pada apapun pencapaianku. Ketika mengkritik dia jujur, ketika memuji dia tulus. 

Baca juga artikel tentang Boston di Kesabaran Berbuah Bahagia

Dari Boston saya mendapatkan definisi me time yang kurang saya sepakati. Me time itu kamu melakukan hal yang kamu sukai tanpa peduli akibatnya. Tak perlu hirau baik untuk kesehatan atau tidak. Saya gemes dia berprinsip begitu.

Boston sangat hobi main game, sering kebablasan sampai larut malam. Dia suka makan makanan enak. Siapa yang tidak suka ya? Bedanya ketika Boston menyukai sesuatu, tidak tanggung-tanggung, benar-benar sampai puas. 

Saya angkat topi betapa Boston menikmati hidup. Tapi saya gerah melihatnya begitu, dan teramat sering membicarakannya sambil berdebat.

Hidup hanya sekali katanya, "Nikmati saja!" 

Boston, teman terbaik itu pergi tgl 13 Mei 2017, sepekan sebelum air kangen yang saya janjikan padanya datang. 

"Katanya kamu mau lihat saya sehat, nanti kasih gratis segalon nah" 
"Kalau untuk kamu apa yang tidak bisa Ton" 

Itu salah satu percakapan saat chat panjang terakhir kami, 4 hari sebelum kematiannya. 

Boston meninggal mendadak, tiba-tiba dadanya sakit sepulang acara ulang tahun ibunya. 

Beliau role model dalam berteman. Sampai sekarang, ketika merasa kurang nyaman pada seseorang saya akan bertanya pada diri sendiri "Kalau begini, kira-kira Boston akan bersikap bagaimana?" 

Ton, saya tidak menduga kamu pergi begitu cepat. Yang pasti ada sekeping hatiku hilang, belum sempat kusampaikan padamu kalau kami semua sayang padamu brother.