Pages

27 Mei 2016

Happy Graduation Naylah!


Lulus-TK

Putri saya sudah lulus TK. Aduhai cepat sekali waktu berlalu, bayi mungil lucu, manis, imut itu sudah pakai toga. Wajah kanak-kanaknya tertutup bedak dan gincu, memakai jubah hitam, tiba-tiba saya merasa terlempar belasan tahun ke depan, Naylah sudah dewasa, saya menghadiri wisudanya sebagai sarjana lulusan universitas. Aduh nak, jadi apa kamu kelak, membayangkannya saja jantung saya sudah dag dig dug, apakah dokter? Pengajar? Atau wirausaha? Dada berdebar-debar membayangkannya, seakan itu sudah akan terjadi besok.

Baiklah saya bangun sekarang.

Naylah sekolah di taman kanak-kanak terdekat dari rumah, terletak sekitar 200 meter dari tempat tinggal kami. Biasanya kakak diantar jemput bapaknya pakai motor, kadang-kadang diantar saya dengan jalan kaki. Tapi itu sangat jarang terjadi, hanya kalau Pap Nay lagi keluar kota atau sedang ada urusan pagi-pagi, barulah saya yang mengantar.

Tak terasa setelah 3 tahun sekolah (iya kakak Nay sekolah selama 3 tahun  di TK), anak mama yang tidak mau bawa bekal nasi itu akhirnya diwisuda. Acara wisuda yang melibatkan ortu sih tidak ada, anak-anak hanya disuruh datang ke sekolah memakai baju muslim atau kebaya (bisa milih), terus ada acara foto di sekolah memakai toga. Orang tua tidak perlu hadir, karena cuma acara foto-foto saja, nanti saat acara pelepasannya, kami diundang melihat anak-anak mempersembahkan hiburan setelah berlatih berminggu-minggu. Memang sejak sebulan apa dua bulan yang lalu, kakak Nay cerita kalau dia di sekolah latihan menari, namanya tari kipas. Setiap hari Nay melaporkan progress-nya.

 “ Ma, tadi saya sudah bisa pegang kipas”
“Ma, tadi saya sudah hapal tariannya”

Karena selalu di-update, saya penasaran benar dengan penampilan Naylah di panggung.

Singkat cerita tibalah hari H. Saya mengajukan cuti setengah hari di kantor, supaya di ingatan Nay terukir kalimat “mamaku mama yang baik, selalu ada di hari spesialku” hehehehe

Membicarakan tentang hari spesial, anak saya termasuk beruntung, bapaknya juga selalu ada, malah melebihi keterlibatan mamanya. Mulai dari mendaftar sekolah, antar jemput anak, sampai acara perpisahan sekolah begini, Pap Nay selalu menghadiri. Lup u  papa *bighug

Cerita lanjut ya…

Berbeda dengan tahun sebelumnya yang diadakan di hotel, kali ini panggung pertunjukan dan tenda tamu didirikan di halaman sekolah. Kebetulan sekolah Naylah memang berhalaman lumayan luas, sangat luas malah. Disitulah berdiri panggung sederhana berlatar merah bertuliskan Penamatan/pelepasan TK Putri Ramadhani kota Parepare tahun ajaran 2015/2016.

Saya semangat sekali, ini pertunjukan pertama Naylah. Anak sulung saya ini agak kurang percaya diri. Saya penasaran bagaimana mental dia saat di panggung, apa dia bisa? Apa dia gugup?

Kami datang lebih awal. Beberapa anak sudah hadir bersama orang tua mereka. Sayangnya acara tidak dimulai tepat waktu, karena menunggu tamu undangan dari Dinas Pendidikan. Karena saya masih berada di wilayah Indonesia, ngaret-ngaret begini harus dimaklumi :) Sebenarnya agak gerah juga karena tidak bisa duduk santai menunggu, mata harus selalu awas memperhatikan Adek Ayyan yang berkeliaran.

Menjelang pukul 10 pagi, gerah dan gelisah menanti lenyap seketika takkala anak-anak mulai tampil di panggung. Mungkin hampir semua anak yang tercatat menjadi murid TK putri Ramadhani mendapat giliran tampil. Mereka satu persatu menghapal doa harian, menyebut angka dalam 3 bahasa, menari, dan membawakan sajak. Yang terakhir ini agak spesial, sajaknya berjudul “nenekku sayang”, dibawakan oleh seorang anak yang setiap hari diantar oleh neneknya ke sekolah, bukan sekedar diantar, sang nenek juga menungguinya setiap hari. Waktu anak itu berpuisi, berulangkali saya nengok ke belakang, melihat wajah sumringah sang nenek.

Saya juga menyukai bagian penyampaian sepatah kata dari kakak kelas yang akan meninggalkan sekolah, dilanjutkan sepatah kata dari adik-adik kelas yang ditinggalkan, walaupun sadar mereka itu cuma menghapal apa yang dikarang ibu gurunya, tapi hati terharu mendengar mereka berkata “selamat tinggal, kami pergi demi masa depan” aaahhhh

Saya tidak cerita tentang pidato sambutan-sambutannya ya, lagipula sepertinya semua hadirin memang datang hanya untuk melihat anak mereka tampil, tak terkecuali yang menulis hehehe

Ternyata penampilan anak-anak yang saya ceritakan di atas adalah penampilan pertama. Setelah  turun panggung, masing-masing langsung ganti baju untuk siap tampil yang kedua kalinya. Yang tadinya pakai baju muslim/muslimah sekarang memakai pakaian menari, Naylah sendiri memakai dress pink tua, berbando senada, dan memakai stocking.

Satu persatu grup mulai menampilkan tariannya, sayang saya tidak memperhatikan waktu MCnya menyebut judul tariannya, ada tarian ala-ala Timur Tengah, tari kipas (karena memakai kipas), tarian dari Aceh, dan tari-tarian kreasi untuk anak PAUD. Saya rangkum semua tariannya jadi satu di video ini (inipun uploadnya sukses setelah 2 hari mencoba) *Entah Ada Apa Dengan Jaringan Internet 2 (AADJ 2)


Tarian yang paling mengundang tawa penonton adalah tari sehat (maaf kalo namanya salah), namanya tari sehat karena lirik lagu yang mengiringinya tentang hidup sehat, mengajak anak-anak makan sayur, ikan dsb. Dibawakan oleh murid-murid dari kelas PAUD, yang memimpin di depan namanya Shifa, gerakannya mantap, dengan ekspresi serius. Anak-anak yang masih balita kalau sudah bertingkah begitu, jadi lucu sekali. Riuh benar penonton waktu mereka tampil.

Tentu saja, tidak semua pertunjukan berjalan sukses, beberapa kejadian ricuh terjadi, misalnya ada anak yang menangis menolak tampil saat gilirannya tiba, ada anak yang tadinya hanya menonton tiba-tiba nimbrung ikut menari. Penonton maklum namanya anak-anak, selalu saja ada hal-hal yang tak terduga mereka lakukan. Bagi saya, mereka salah atau benar, tingkah laku mereka di panggung tetap menghibur.

Saya terharu, Naylah bisa tampil percaya diri membawakan doa keselamatan dunia dan akhirat. Demikian juga waktu dia menari, dia tidak gugup sama sekali, kompak dengan teman-temannya. Tentu saja ini berkat ibu guru yang tak jemu melatih. Saya sangat menghargai usaha dari ibu-ibu guru, saya tidak tahu bagaimana cara para pendidik itu melatih anak-anak menari. Kagum saya, kok anak saya yang hobi memanjat dan lompat, yang tidak ada lentur-lenturnya sama sekali bisa kompak begitu ya menari dengan teman-temannya. Pasti butuh kesabaran luar biasa mengarahkan mereka, Ini bukan tentang sabar menghadapi 2-3 anak saja, tapi banyak anak dengan beragam karakter. 4 Jempol buat bu guru!
tari-anak-tk

Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada ibu-ibu guru TK Putri Ramadhani, atas kebaikan mereka mendidik anak saya, yang memaklumi kalau Naylah kadang tidak pergi sekolah, selalu tersenyum menyambut kami walaupun sering datang terlambat. Bahkan, bersedia susah payah mengantar sampai ke rumah waktu Naylah lupa dijemput. Saya berterima kasih pada mereka, Naylah jadi hapal banyak doa harian, Naylah kadang menjadi guru di rumah mempraktekkan apa yang diajarkan gurunya “kalau makan harus duduk yang rapi”, “sebelum makan harus baca doa makan” dan banyak lagi.

Sepertinya cerita saya sudah lumayan panjang, akhirnya saya cuma mau bilang "Happy graduation nak!"

20 Mei 2016

Berlibur di Desa (Part 2)

Berlibur-di-desa
 
Artikel ini sambungan tulisan sebelumnya “Berlibur di Desa (Part 1), sengaja saya tulis agak panjang sampai 2 postingan, untuk mengenang kebaikan Tante Bia yang telah menerima kami nginap semalam di rumahnya.
 
Nikmatnya masakan Tante Bia
 
Kami disambut Tante Bia dengan teh hangat dan berbagai macam kue, ada biskuit, kerupuk jintan, satu lagi lupa, dan barongko. Anak-anak menyukai barongko dan kerupuknya. Liat aksi Naylah makan barongko, sampai lupa duduk rapi.


Setelah sholat magrib perut mulai tidak stabil, kampung tengah saya kadang berdendang kadang pula mengira hari sudah pagi, kukkuruyuk menirukan suara ayam. Untungnya, tak lama kemudian terhidang nasi hangat dengan lauk ikan goreng di baki, mengepul mengundang selera. Ikan goreng dilengkapi dengan sambel pedes jeruk purut, disiram indomie (andalan kalau sayur habis), aduhai nikmatnya. Entah kenapa, ikan itu ya, waktu digoreng saja aromanya sudah menyebar kemana-mana, mungkin bawaan perasaan lapar atau memang menggorengnya spesial, minyak yang dipakai dari kelapa asli buatan sendiri, harum menggoda. Tadi, waktu Tante Bia masak, bolak-balik saya masuk dapur bertanya heran kenapa ikan goreng yang jenis ikannya sama dengan yang sering saya beli aromanya bisa beda begitu. Yang ditanya senyum-senyum, mungkin membatin “iya tau kamu sudah lapar” hahaha.
 
Benar saja, begitu terhidang langsung digempur, yang tersisa hanyalah tulang belulang saja :D
 
Dini hari tante Bia ke pasar. Pasar disini hanya buka sekali dalam 5 hari. Baru juga anak-anak bangun, Tante Bia sudah datang bawa belanjaan yang bikin iri saya lahir batin. Bayangkan bu ibu… sebaskom kepiting dibeli cuma seharga 10rb rupiah. Tante Bia bilang karena dia sama penjualnya bersahabat, makanya dikasih harga segitu, biasanya dijual ke orang lain 20 rb. Segitupun tetap murah ya.
 
Tetaplah ya, dimana-mana kalau perempuan ketemu selalu ada obrolan soal harga :D
 
Sekarang waktunya sarapan. Kali ini, selain ikan bakar, di baki Tante Bia ada masakan kepiting. Jadi ngiler lagi waktu tulis ini. Hari masih pagi, tapi hidangan sudah seperti menu makan siang. Kami duduk bersila bersama, mengelilingi hidangan yang menurut saya istimewa, karena tahu semua ikan dan kepitingnya sangat segar, fresh from the sea.

ikan-bakar

Ada kebiasaan Tante Bia yang bikin saya lumayan tersiksa, setiap melihat nasi di piring mulai berkurang, dia tambah lagi tanpa kalimat pembuka, tiba-tiba nasi saya sudah menggunung lagi. Mungkin memang begitulah salah satu adab keramahan di desa. Kalau dihitung-hitung mungkin saya sudah menelan 2-3 piring nasi, astagafirullah. Saking banyaknya, saya sampai kurang selera diajak singgah makan siang lagi, nasi tadi awet mengganjal perut.

sarapan-seafood
 
 
Berpamitan
 
Kami pulang sebelum siang. Perjalanan masih panjang, lagipula mungkin, walaupun tidak bilang, mereka bermaksud ke sawah, masih ada padi yang belum dipanen. Tante Bia membekali kami macam-macam; ada kelapa, pisang, dan kue. Bahkan mau dibungkuskan beras juga, tapi kami tolak.
 
Kunjungan ke rumah Tante Bia sungguh berkesan. Semoga ada kesempatan di lain waktu, kami akan bersilaturahmi ke sana. Tapi tidak pakai acara kesasar lagi, supaya bisa lebih menikmati perjalanan.
 
Begitulah salah satu cerita long weekend kami beberapa hari yang lalu, bagaimana cerita liburan kamu?

13 Mei 2016

Berlibur di Desa (part 1)

berlibur-di-desa

Mencari Rumah Tante Bia

Saya, anak-anak dan Mia mulai gelisah. Sudah hampir sejam kami tersesat, GPS tidak membantu sama sekali, malah membuat kami berputar-putar dan salah arah.

 “mungkin tidak update” kata Pap Nay.

Jadi kami memutuskan kembali pada cara lama dan konvensional yaitu BERTANYA. Setiap ada persimpangan Pap Nay singgah bertanya. Lebih baik begitu daripada kesasar.

Semakin jauh, jalanan yang dilewati semakin mengecil, kiri kanan terhampar sawah diselingi rumah penduduk. Suasana pedesaan kental terasa. Mobil yang lalu lalang tidak seramai tadi, seandainya kami tidak sedang tersesat, mungkin keindahan alam bisa lebih dinikmati. Setelah yakin sudah di jalur yang benar, Pap Nay menelpon Tante Bia, Tante Bia adalah saudara sepupu mama mertua saya. Saya belum pernah ketemu dengannya. Berhubung hari prei kerja lumayan lama, kami punya banyak waktu. Jadi setelah puas bersilaturahmi dengan keluarga di Soppeng, kami memutuskan menyambangi Tante Bia di Bone.

Bola seppo magawu” kata Tante Bia takkala ditanya ciri-ciri rumahnya, dia menambahkan keheranannya kenapa Pap Nay bisa lupa, padahal sudah 2 kali kesana. Benar suami saya masih mengenali tempat itu, hanya saja karena kunjungan terakhir 10 tahun yang lalu, dia jadi lupa tepatnya dimana.

Pukul 5 sore, si simbilikiti, mobil mungil setia andalan akhirnya bisa istirahat.

Rumah Tante Bia benar berwarna biru seperti dia bilang tadi ditelepon, terletak di bagian belakang. Bukan di pinggir jalan. Saat melihat wujud rumah pertama kali, saya tidak terkesan benar. Bola Seppo yang Tante Bia maksud adalah rumah tanpa tiang atau rumah batu. Tapi punya Tante Bia semi rumah batu, setengah terbuat dari tembok, bagian tengah ke atas berdinding kayu. Tidak reot tapi tidak begitu bagus, beberapa papan dipalang sekenanya, hampir keseluruhan teras menjadi tempat gabah. Melihat tampilan luarnya saja, saya sudah membayangkan interior rumah seamburadul eksteriornya. Tambahan pula, untuk menuju rumah, kami harus melewati jalanan becek di samping rumah tetangga. Seandainya becek saja tidak mengapa, tapi sapi, anjing, dan segala hewan peliharaan penduduk sekitar berkeliaran di situ. Bisa dipastikan kotoran mereka bercampur aduk, menjadikan jalan itu mirip kubangan, kami harus berjalan hati-hati mencari pijakan yang aman, kalau tidak bisa-bisa sandal juga ikut berkubang.

Karena tuan rumah sedang berada di sawah. Saya dan anak-anak memutuskan menunggu mereka di pinggir jalan, kebetulan ada tempat duduk, disini lebih kering, lebih nyaman. Tak berapa lama kemudian, Tante Bia datang, disusul suaminya yang baru menurunkan dua karung gabah dari kuda. Kami disambut hangat sekali.

Interior rumah sederhana. Tapi saya bengong, alangkah bersih dan rapinya rumah ini. Tidak ada debu sama sekali, semua teratur di tempatnya. Di dapur sederhana mereka, ada kulkas, kompor gas, ada juga kompor tradisional. Kompor yang terakhir ini adalah kompor yang bahan bakar utamanya dari kayu atau arang. Saya sering melihat kompor jenis ini semasa kecil, bahkan pernah melihat proses pembuatannya. Seingat saya memasak menggunakan alat ini menyisakan sampah abu yang lumayan banyak, mungkin karena Tante Bia memakai arang, saya tidak melihat bekas abu sama sekali di dapur.

Di sebelah dapur ada kamar mandi sederhana; toilet, baskom, dan bak mandi disitu terlihat bersih, lantai kamar mandinya walaupun tidak berkeramik, juga tidak licin sama sekali.

Ruang tengah dijadikan ruang keluarga. Seperti ruang keluarga pada umumnya, ruangan ini dilengkapi tv mungil dengan fasilitas siaran memakai parabola. Dialasi 3 karpet plastik berbeda dengan motif tabrakan. Kami betah ngumpul di depan TV di ruangan ini, karena itu tadi…bersih.

“Semua ini dibeli Harun” kata suami Tante Bia sambil menunjuk TV.

Harun adalah anak semata wayang mereka yang berprofesi sebagai tentara di daerah lain, profesi yang banyak dibanggakan orang tua di desa.

Di dalam kamar tidur ada dua ranjang kayu, dengan kelambu tergantung rapi siap pasang, dialasi kasur kapuk, ditutup seprai licin nan rapi. Tidak ada bau aneh akibat leler di bantal, saya yakin ini baru saja dicuci atau entahlah apa memang selalu bersih begitu, tidak beraroma pengharum m*olto, tapi tak berbau. Sarung-sarung yang kami pakai tidur juga demikian, semua bersih.

Tertampar

Mau tidak mau, saya merasa ada tepukan lembut di pipi. Apa kabar rumahku? Rumah hunian yang dibersihkan berjam-jam, menjadi kapal pecah dalam sekejap. Ditambah penghuninya (baca saya) yang mendewakan kata “nanti” untuk membereskannya. Saya selalu berlindung pada tameng “saya ibu pekerja”, capek dari kantor. Padahal sebenarnya seringkali tidak capai benar, di kantor saya masih bisa duduk santai dan bercanda dengan teman, masih bisa ngopi sambil ngemil biskuit *pantas ndut

Saya takjub, Tante Bia sudah berumur, dia dipanggil nenek oleh anak-anak saya. Beliau mengsyukuri rumah mungil yang mampu suaminya beli. Rumah kecil tak menghalangi mereka bahagia dan merasa tenteram di dalamnya. Saya teringat kalimat seorang bijak “ ketika rumahmu kecil syukurilah dengan merawatnya, percantik semampumu, sebelum dimampukan untuk menempati rumah besar”
rumah-lapang

Tante Bia IRT sejati? Bukan.

Waktu kami datang, Tante Bia baru pulang dari sawah. Dia menenteng banyak sekali bawaan; ada rantang, baju-baju kotor, dan beberapa lagi barang yang saya tidak perhatikan benar. Dia baru saja membantu suaminya massangki (memotong padi). Hebatnya, subuh-subuh dia sudah bangun, menyiapkan bekal makan siang dan meninggalkan rumah pada pukul 9 pagi dalam keadaan rapih jali. Sepulang dari “kantor” dia memasak, menyiapkan makan malam. Belum lagi saat kami tiba, disuguhi bermacam-macam kue, salah satunya kue barongko. Heran, kok sempat ya. Bagi saya, multitasking yang Tante Bia lakukan sungguh luar biasa, saya belum tentu bisa.

Berapa banyak dari kita, khususnya saya menjadi begitu jumawa karena ikut mencari nafkah. Mengerjakan pekerjaan rumah semaunya saja, sebisanya saja. Saya belajar banyak pada Tante Bia hari ini. Dia tidak mengetahui banyak hal, dia tidak membaca buku-buku motivasi. Beliau hanya bekerja dan mengabdi, melakukan yang bisa dia lakukan dengan ikhlas. Tante Bia sukses membuat saya merenung, memaksa saya berkaca..hei diriku! belajarlah ilmu ikhlas seperti orang-orang sederhana itu lakukan, orang yang menikmati kegiatan melayani, karena tahu semua dibalas Allah.